Investasi ala Jiwasraya, bukti rapuhnya tata kelola industri asuransi 

Kesalahan penempatan dana investasi merusak tata kelola industri asuransi.

Ilustrasi. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Sejak akhir tahun lalu, publik digegerkan dengan kasus gagal bayar produk asuransi Jiwasraya Saving Plan (JS Plan) milik PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Produk ini tak hanya menawarkan proteksi bagi pemegang polis, namun juga mencakup produk investasi.

Tak tanggung-tanggung, imbal hasil investasi yang dijanjikan mencapai 9-13%. Imbal hasil tersebut lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga deposito yang pada tahun 2018 berkisar 5,2%–7,0% per annum, juga lebih besar dari pertumbuhan IHSG sepanjang 2018 yang negatif 2,3%.

Produk ini dipasarkan sejak tahun 2013 melalui kanal bancassurance dengan penawaran proteksi selama lima tahun tetapi memiliki masa investasi satu tahun. Artinya, setiap tahun terdapat klaim jatuh tempo yang harus dibayarkan, kecuali nasabah meminta perpanjangan polis atau roll over

Sayangnya, penempatan dana untuk pengelolaan investasi Jiwasraya diketahui bermasalah. Alih-alih mendapatkan keuntungan, penempatan dana justru mengakibatkan kerugian. Alhasil, klaim nasabah JS Plan tak kunjung dibayarkan oleh perusahaan asuransi jiwa pelat merah tersebut sejak Oktober 2018 imbas dari kerugian. 

Hingga kini, kasus gagal bayar Jiwasraya masih terus bergulir dan telah memasuki babak baru. Pada Kamis (26/6) silam, Kejaksaan Agung telah menetapkan 13 manajer investasi (MI) sebagai tersangka dalam mega skandal industri asuransi tersebut. Ketiga belas MI tersebut dinyatakan bersalah karena dianggap tidak netral dalam penempatan dana investasi Jiwasraya sebagaimana yang telah diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).