Menjaga marwah OJK di tengah terpaan kontroversi dan pandemi

OJK menunjukkan dokumen untuk menampik semua tudingan yang tertuju pada lembaganya.

Puluhan tahun silam, tepatnya tahun 1999, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemerintah berdiskusi tentang kemungkinan adanya satu otoritas baru pengawas perbankan di luar struktur Bank Indonesia (BI). Ketika itu, usulannya masih merujuk pada Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK).

Pertimbangan ini muncul menyusul kekecewaan pemerintah terhadap kinerja BI dalam urusan pengawasan perbankan pascareformasi 1998. Lemahnya pengawasan BI kala itu mengakibatkan lahirnya satu prahara besar yang dikenal sebagai skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp4,8 triliun lebih.

Atas alasan itu, lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU-BI). Pasal 35 beleid tersebut menyebutkan, tugas pengawasan perbankan kelak akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan independen, paling lambat 31 Desember 2002.

Namun dalam perjalanannya, pembahasan terkait pembentukan otoritas baru itu terus menuai kontroversi. Pasal 34 UU Bank Indonesia bahkan harus direvisi berkali-kali sehingga lahir satu aturan baru, yaitu UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 tahun 1999.

Dalam revisi undang-undang (RUU) itu disebutkan bahwa pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal ditunda dan baru akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah termasuk pihak yang tidak setuju atas didirikannya OJK kala itu.