Menjaring potensi bioekonomi di tengah sederet tantangan

Potensi pengembangan ekonomi berbasis sumber daya hayati dunia sangat besar.

Ilustrasi bioenergi. Foto Freepik.

Potensi pengembangan ekonomi berbasis sumber daya hayati dunia sangat besar. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporan berjudul The Bioeconomy 2030 yang dirilis pada 2009 mengungkapkan angkanya mencapai US$2,6 triliun hingga US$5,8 triliun pada tahun 2025 – 2030. Dari sisi investasi, menurut World Resources Institute (WRI) 2019, penyaluran investasi berbasis alam dan bioekonomi sebesar US$1,8 triliun, dengan manfaat bersih hingga US$7,1 triliun pada tahun 2020 – 2030.

Dari besarnya potensi tersebut, Indonesia dinilai menjadi negara yang bisa meraup lebih banyak untung bersama Brasil, dan beberapa negara di Afrika. Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (Ikabi) Tatang H. Soerawidjaja bilang, itu karena Indonesia terletak di garis khatulistiwa, ditambah punya beragam sumber daya hayati yang berpotensi diolah menjadi bioenergi.

“Kemudian kita punya keuntungan laju fotosintesis tinggi, pembentukan bahan (bakar) nabati dari sinar matahari di daun-daunan itu. Kelihatan ada di Kalimantan, Sumatera, Jawa, bukan Amazon. Kita memiliki wilayah hutan luas. Kita punya sumber daya nabati yang dahsyat,” katanya, saat dikonfirmasi Alinea.id, Minggu (10/3).

Belum lagi, terdapat banyak pohon dengan kandungan biomassa lignoselulosa (biomassa dari tumbuhan yang mengandung komponen utama lignin, selulosa dan hemiselulosa) serta tanaman yang mengandung minyak-lemak. Adapun jenis tanaman yang dapat digubah menjadi biomassa yakni, sawit, kelapa, alpukat, kelor, malapari, nyamplung, karet, kusambi, nimba, kepoh, kapok atau randu, jarak kaliki dan pagar, serta kemiri dan kemiri sunan.

“Tanaman-tanaman itu melimpah ketersediannya, bisa kita olah sebagai tanaman pangan dan nonpangan untuk energi. Sumber daya nabati dari tanaman yang memiliki kandungan minyak-lemak bahkan memiliki kandungan energi paling tinggi, mencapai 37 megajoule (MJ)/kilogram,” beber Tatang.