Potensi ekonomi hijau di Indonesia sangat besar dengan sumber energi hijau dan terbarukan (EBT) yang melimpah. Potensi EBT di tanah air mencapai hampir 3.800 gigawatt (GW) yang berasal dari energi surya, bayu, hidro, bioenergi, panas bumi, dan laut.
Direktur Energi dan Sumber Daya Mineral Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Eka Satria mengatakan konsumsi listrik di Indonesia baru 70 GW. Dari total tersebut, baru sekitar 15 GW yang menggunakan EBT atau 0,03%.
"Sisa potensi EBT tersebut bisa menjadi ekspor atau pemenuhan energi dalam negeri. Apalagi energi masa depan sumbernya adalah renewable, kita ini sudah punya resources yang sangat besar," ujar Eka, belum lama ini.
Di sisi lain, Indonesia juga memiliki banyak cadangan mineral yang nantinya dibutuhkan untuk transisi energi, seperti nikel dan tembaga. Misalnya, ujarnya, nikel digunakan untuk baterai kendaraan listrik. Demikian juga dengan tembaga untuk kabel, motor, hingga mobil listrik.
Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi daya tampung karbon atau CO2 storage terbesar di dunia. Penyerapan karbon salah satunya bisa dilakukan secara alami oleh hutan. Mengingat, hutan Indonesia adalah nomor dua terluas setelah Amazon.
Belum lagi, Indonesia juga memiliki potensi penyimpanan C02 hingga 500 gigaton dalam depleted reservoir atau sumur kering minyak dan gas bumi (migas).
“Jadi selain kita punya resources yang besar, kita juga punya komponen untuk melakukan energi transmisi ini,” ujarnya.
Depleted reservoir adalah reservoir migas yang telah mengalami penurunan tekanan reservoir atau cadangan hidrokarbon akibat produksi migas serta tidak dapat diproduksikan lagi secara ekonomis dengan teknologi yang ada saat ini.
Jauh dari mimpi
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti mengatakan pertumbuhan ekonomi hijau harus dipikirkan demi mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% yang dipatok oleh Presiden Prabowo Subianto. Bahkan, katanya, dalam dunia investasi juga tidak boleh mengabaikan ekonomi hijau jika ingin berkelanjutan. Pembangunan yang dilakukan juga tidak boleh merusak lingkungan karena nanti tidak akan bisa mengambil benefitnya lagi.
Sayangnya, kata dia, Indonesia masih jauh dari mimpi pertumbuhan ekonomi hijau. Investasi hijau yang ada di Indonesia saat ini masih dalam skala kecil dengan US$2 miliar hingga US$5 miliar. Angka itu sangat mini jika dibandingkan negara tetangga seperti Singapura ataupun Malaysia yang mencatat nilai US$10 miliar hingga US$15 miliar. Belum lagi, peringkat utang Indonesia alias sovereign credit rating masih berada di level BBB atau belum mencapai investment grade, sementara Singapura sudah berada di peringkat AAA.
Selain itu, Indonesia masih banyak menggunakan brown energy. Padahal, ujarnya, pembangunan energi hijau berpeluang mendapatkan pendanaan dari bank asing.
Tidak heran, bila sampai sekarang pendanaan sulit masuk karena kondisi Indonesia yang masih menggenjot brown energy. Sedangkan pengembangan green energy hanya sekadar wacana dan belum sanggup meyakinkan bank asing untuk memberikan dana.
“Contohnya bank asing, kalau mau kasih dana ke Indonesia (mereka mempertanyakan) ‘ini apa? EBT atau tidak? brown energy atau green energy?’ tentunya mereka masih berpikir ke arah sana. Jadi ini tantangan berat,” ujarnya.
Ketua Bidang Perindustrian dan Perdagangan Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Afifuddin Suhaeli Kalla mengakui, pembangunan di EBT di Indonesia belum cepat. Investasinya juga masih kalah saing dengan brown energy yang populer. Alhasil, para pengusaha EBT masih kesusahan untuk membangun sektor EBT secara masif.
Ditambah, pasar EBT masih terbatas. Kini, penjualan EBT di Indonesia hanya dilakukan ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan kawasan industri. Menjajakan EBT ke kawasan industri pun banyak menemui tantangan.
"Secara potensi, EBT sangat banyak di Indonesia, khususnya ada geotermal, air, panel surya, dan angin yang menjadi tulang punggung di Indonesia, tapi kami juga harus mencari pembeli," ujarnya.
Menurutnya, perlu dukungan insentif dari pemerintah untuk pengembangan EBT. Sebab, investasi di sektor ini lebih mahal ketimbang brown energy.
"Kendala ini harus diselesaikan sehingga pembangunannya bisa semakin masif," katanya.
Eka menyebut ada tiga dilema dalam pengembangan EBT, yakni harga yang terjangkau, tersedianya sumber energi, dan keberlanjutan. Dia mengakui, harga jual EBT saat ini lebih mahal ketimbang energi fosil. Penyebabnya, pemerintah menggelontorkan subsidi untuk energi seperti listrik atau elpiji sehingga harga jual ke konsumen bisa jauh lebih murah.
Oleh karena itu, katanya, diperlukan level persaingan yang sama atau playing field sehingga dapat mendorong perkembangan EBT.
"Industri EBT juga membutuhkan insentif, proses perizinan yang simpel, dan tersedianya infrastruktur atau jaringan," katanya.
Sementara itu terkait pasar, menurutnya, Indonesia berpotensi menjual EBT ke luar negeri, misalnya Singapura. Dengan demikian, hasil penjualan tersebut dapat digunakan untuk menggerakkan industri dalam negeri.