Mewujudkan e-commerce inklusif bagi penyandang disabilitas

Sejak muncul di Indonesia di akhir 1990-an, e-commerce terus bertumbuh. Namun, belum menjadi tempat inklusif bagi penyandang disabilitas.

Ilustrasi. Alinea.id/MT Fadillah.

Pertumbuhan jumlah pengguna niaga elektronik alias e-commerce diramal bakal mengalami pertumbuhan pesat. Berdasar data Statista Market Insight, pada 2022 saja jumlah pengguna e-commerce mencapai 178,94 juta, naik dari tahun sebelumnya yang sebanyak 158,65 juta. Pada tahun ini, pengguna e-commerce diramal bakal mencapai 208,55 juta, kemudian menjadi 244,67 juta pengguna pada 2027.  

Di antara ratusan juta pengguna itu, bisa jadi ada penyandang disabilitas yang menggunakan layanan belanja digital ini. Sementara itu, menurut BaKTI, disabilitas terdiri dari banyak macam. Disabilitas fisik atau daksa, yang ditandai dengan terganggunya fungsi gerak; disabilitas intelektual seperti yang dialami orang-orang dengan kecerdasan di bawah rata-rata; disabilitas mental yang ditandai oleh terganggunya fungsi pikir, emosi dan perilaku; serta disabilitas sensorik, keterbatasan pada pancaindra. 

“Kita juga manusia biasa, yang kalau melihat barang-barang bagus atau yang kita butuhkan, kita ingin beli. Jadi, ya kami belanja juga di e-commerce,” kata Sabila, salah satu barista di toko kopi di Jakarta Pusat, kepada Alinea.id, Rabu (29/11). 

Untung baginya, karena memiliki mata normal yang masih bisa berfungsi dengan baik. Karena hanya dengan indrapenglihat, teman tuli ini dapat memilih apa yang ingin dia beli di e-commerce.

Meski begitu, ada satu fitur yang Sabila hindari saat berbelanja, yakni Live Shopping, layanan belanja langsung. Sebab, dengan telinganya yang tidak bisa berfungsi dengan baik, perempuan 23 tahun itu sama sekali tidak bisa menangkap apa yang disampaikan oleh penjual dalam siaran belanja langsung itu.