Pemerintah diminta segera revisi insentif harga gas industri

Dengan memperluas insentif harga gas beberapa permasalahan diprediksi bisa timbul.

Ilustrasi. Dokumentasi PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.

Rencana Pemerintah untuk memperluas insentif harga gas industri sebaiknya perlu mendapat perbaikan dan masukan dari berbagai pihak.

Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira menuturkan jika harga dari migas dinaikan maka insentif gas yang berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dinilai kurang tepat sasaran, dan berisiko merugikan keuangan negara dalam jangka panjang.

“Bisa dibayangkan kerugian negara itu cukup besar, pendapatan negara dari hulu migas selama tahun 2020 hanya mencapai US$460 juta. Jumlah itu jauh dibawah proyeksi awal ketika kebijakan harga gas US$6 itu diberlakukan pada bulan Juni 2020 yakni senilai US$ 1,39 miliar. Artinya, sepanjang 2020-2021 ada potential loss bagian negara yang membengkak justru disaat windfall harga gas sedang tinggi,” kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Chelios), Bhima Yudhistira dalam keterangan resmi yang diterima Alinea.id melalui Whatshapp, Selasa, 18 Januari 2022.

Dengan memperluas insentif harga gas, kata Bhima, beberapa permasalahan bisa timbul seperti formulasi penetapan harga gas maksimal US$6 per MMBTU dan kriteria penerima yang dianggap kurang transparan.

“Penyaluran insentif harga gas khusus harusnya sama halnya dengan penyaluran subsidi gas pada umumnya. Perlunya kejelasan soal formulasi harga, kriteria penerima dan mekanisme pengawasan merupakan hal yang melekat dalam kebijakan gas khusus. Tetapi dalam praktiknya masalah transparansi dan evaluasinya sangat minim sehingga kurang tepat apabila insentif gas langsung diperluas ke sektor usaha lainnya,” kata Bhima.