Benarkah Indonesia masuk dalam rawan pangan?

Sejarah menunjukkan ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik

Pekerja mengangkat karung berisi beras di Pasar Beras Martoloyo, Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (13/1). Sejumlah pedagang beras, mendukung kebijakan pemerintah menstabilkan harga beras dengan melakukan impor karena harga beras di pasaran terus merangkak naik, sepekan terakhir dari Rp500 hingga Rp1.500 per kilogram, akibat pasokan dari petani turun hingga 75 persen. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/Spt/18

Persoalan pangan pada pekan ini menjadi masalah besar bagi bangsa Indonesia. Stok beras yang disebut-sebut makin menipis berikut juga kasus gizi buruk yang terjadi di Kabupaten Asmat, Papua mengungkit persoalan lama negara. Benarkah Indonesia sedang mengalami kerawanan pangan? 

Kerawanan pangan adalah kondisi dimana ketidakcukupan pangan yang dialami di sebuah daerah, masyarakat atau rumah tangga. Dewan Ketahanan Pangan mengklasifikaskan bahwa kondisi kerawanan pangan terjadi karena bencana alam maupun bencana sosial. 

Mengapa kerawanan pangan terjadi? Persoalannya adalah ketersedian pangan, distribusi dan akses terhadap pangan. Semuanya memang saling terkait, tidak bisa dipastikan bahwa persedian pangan yang cukup menjamin ketahanan pangan rumah tangga atau indvidu. Hal ini terkait dengan daya beli rumah tangga atau individu tersebut. 

Kita tentu masih ingat bahwa kasus gizi buruk muncul di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2009. Padahal provinsi tersebut dikenal sebagai daerah lumbung beras. Provinsi lain yang juga masuk dalam rawan pangan tertinggi adalah Papua, Maluku, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Maluku Utara. 

Pekan ini kita dihadapkan dengan kondisi yang serupa terjadi di Asmat. Terbaru seperti diberitakan Antara, kasus kurang gizi di Asmat telah ditindaklanjuti.