DBS Group Research: Rupiah antara Rp14.000-Rp15.000 per US$ hingga 2022

Kebutuhan untuk mengamankan stabilitas rupiah menambah alasan bank sentral untuk menahan suku bunga.

Karyawan menunjukkan uang rupiah dan dolar AS di Bank Mandiri Syariah, Jakarta, Senin (20/4/2020). Foto Antara/Nova Wahyudi/wsj.

DBS Group Research memperkirakan, rupiah akan stabil antara Rp14.000 dan Rp15.000 per dolar AS hingga 2022. Sejak perang dagang AS-China merebak pada 2018, nilai tukar telah berhasil melewati beberapa rangkaian gejolak.

"Sebuah pencapaian yang tercermin sangat baik lewat penghargaan yang diraih Bank Indonesia sebagai manajer cadangan devisa terbaik di Central Banking Awards 2021. BI diakui atas keberhasilannya menstabilkan rupiah selama pandemi Covid di bawah kerangka alokasi strategis faktor makro baru," kata DBS Group Research dalam keterangan tertulisnya, Kamis (23/9).

Terlepas dari beberapa gejolak pada kurva imbal hasil surat berharga pemerintah AS yang lebih tajam pada awal tahun ini, rupiah membuktikan ketahanannya terhadap gelombang Covid-19 mematikan kedua sejak Juni hingga Juli dan sikap Bank Sentral AS yang condong keras sejak Juni.

Berbeda dengan episode taper tantrum 2013, Indonesia tidak dicirikan oleh ketidakseimbangan makroekonomi utama saat ini. Sebagai contoh, Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index, CPI) dan inflasi inti berada di bawah target resmi 2-4% sejak Agustus 2020. Meskipun defisit transaksi berjalan kembali pada paruh pertama 2021 setelah surplus pada paruh kedua 2020, selisihnya tidak sebesar pada 2013. Meskipun demikian, lembaga pemeringkat menaruh perhatian pada komitmen pemerintah untuk melakukan konsolidasi fiskal pasca skema berbagi beban fiskal untuk memerangi pandemi.

Bank Sentral AS sendiri berniat untuk mulai mengurangi pembelian aset sebelum akhir 2021, faktor utama yang mendukung dolar AS tahun ini. Untuk saat ini, tidak ada pengulangan perbedaan kebijakan moneter utama (misalnya Abenomics dan ECB QE vs penurunan pembelian aset dan kenaikan nilai tukar AS) yang mendorong dolar AS naik pada 2013-2015. Namun, gejolak pasar keuangan dapat meningkat karena lebih banyak bank sentral global menghentikan stimulus pandemi mereka.