Senja sektor ritel: Pola belanja daring dan datangnya pagebluk

Sejumlah mal di kota besar berguguran karena sektor penjualan yang menurun bahkan sejak sebelum pandemi.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Memasuki sebuah mal besar di ibu kota, pemandangan gerai-gerai yang tutup maupun sepi menjadi hal yang jamak terlihat. Sebagian gerai menuliskan pengumuman 'Toko Tutup Sementara' dalam selembar kertas HVS. Beberapa lainnya menuliskan pengumuman dijual, dikontrakkan, dan over kontrak. Namun, banyak diantara gerai-gerai itu tutup begitu saja.

Pandemi Covid-19 sejak 2020 memang membuat nasib mal atau pusat perbelanjaan kian terpuruk. Sebelum pandemi menyerang, sektor ritel juga mengalami disrupsi dengan hadirnya pola belanja baru; daring.

Fenomena tutupnya gerai-gerai di mal ini lantas mempengaruhi kinerja mal secara keseluruhan. Pasalnya, tidak ada uang sewa yang masuk ke manajemen pusat perbelanjaan. Belum lagi dengan semakin sedikitnya pengunjung mal yang datang.

Tak heran, jika kemudian banyak mal yang juga bertumbangan. Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo mengatakan, beberapa mal yang bangkrut memang memiliki kondisi yang sudah tidak baik sejak sebelum pagebluk. Pusat perbelanjaan ini, biasanya ditutup begitu saja, sampai ada pengusaha mal yang tertarik untuk membelinya. 

"Ada juga yang di over kredit atau dipindahtangankan, meskipun kontraknya belum habis," ujar dia kepada Alinea.id, Jumat (13/11).

Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonsus Widjaja, mengungkapkan, hingga akhir Oktober setidaknya ada 7 mal yang sudah dijual dan 1 mal ditutup. Selain itu, ada pula pusat perbelanjaan yang masih dalam proses penyelamatan atau ambil alih dalam penawaran.