Serapan APBD untuk belanja modal rendah, masyarakat dirugikan

Serapan belanja modal hanya 17%, lebih kecil dari belanja pegawai yang sebesar 26%.

Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) serta Buku Daftar Alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun 2020 kepada Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di Istana Negara, Jakarta, Kamis (14/11/2019). Foto Antara/Puspa Perwitasari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai daripada belanja modal. Peneliti Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah atau KPPOD, Lenida Ayumi, menyatakan hal ini berpotensi merugikan masyarakat.

"Serapan belanja modal yang rendah berpotensi menimbulkan kerugian publik. Karena belanja modal biasanya digunakan untuk membangun sarana dan fasilitas publik," kata Lenida dalam diskusi media bersama KPPOD di Jakarta, Minggu (15/12).

Dia menjelaskan, dari serapan anggaran pemerintah provinsi pada 2018, rasio belanja pegawai dan belanja barang menjadi serapan terbesar pemerintah provinsi, yaitu sebesar 48%. 

Rinciannya dari anggaran sebanyak Rp349,6 triliun, 26% digunakan untuk belanja pegawai, 22% untuk belanja barang dan jasa, 35% untuk belanja lainnya, dan sisanya 17% untuk belanja modal. 

Rasio serapan yang sama juga ditemukan pada penyerapan anggaran pemerintah Kabupaten atau Kota tahun 2018. Dari anggaran sejumlah Rp804,2 triliun, 40% digunakan untuk belanja pegawai, 24% untuk belanja barang dan jasa, 20% untuk belanja modal, dan sisanya 16% untuk belanja lainnya.