Urgensi peningkatan nilai tambah dan keberlanjutan pada komoditas pangan

Indonesia yang memiliki komoditas pangan global cukup beragam harus mampu meningkatkan nilai tambah di setiap komoditasnya.

Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Raharjo dalam pemaparannya bertajuk “Pangan Berdaulat, Generasi Sehat, Bangsa Bermartabat” di Rapat Terbuka Puncak Peringatan Dies Natalis ke-73 UGM, Senin (19/12/2022). Sumber: tangkapan layar Youtube UGM

Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Raharjo menyampaikan, tantangan sektor pangan bagi Indonesia saat ini semakin penting untuk diperhatikan. Indonesia yang memiliki komoditas pangan global cukup beragam harus mampu meningkatkan nilai tambah di setiap komoditasnya agar memiliki daya saing tinggi. Pemanfaatan teknologi dalam diversifikasi turunan komoditas juga harus segera dilakukan.

Seperti halnya persoalan impor garam industri, gula tebu, kedelai, jagung, dan daging sapi yang seluruhnya bisa diproduksi dalam negeri, namun raharjo menilai kuantitasnya tidak mencukupi. Bahkan terkadang kualitas komoditas tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan industri pangan di dalam negeri.

“Di sisi ekspor, komoditas minyak sawit dan rempah kita memiliki daya saing cukup tinggi di perdagangan internasional dan domestik karena memiliki comparative advantage yang didukung volume produksi yang besar dan kesesuaian dengan kondisi daerah tropis, tapi keduanya masih diekspor dalam kondisi mentah atau utuh,” ujar Raharjo dalam pemaparannya bertajuk “Pangan Berdaulat, Generasi Sehat, Bangsa Bermartabat”  di Rapat Terbuka Puncak Peringatan Dies Natalis ke-73 UGM, Senin (19/12).

Kemudian Raharjo juga menyebutkan input teknologi untuk diversifikasi produk turunan komoditas masih sedikit. Apalagi saat ini produksi komoditas dihadapkan dengan tantangan untuk produksi secara berkelanjutan.

“Ini artinya, meskipun komoditas tersebut memiliki keunggulan komparatif, tapi perkembangan persaingan perdagangan global saat ini dan ke depan menuntut adanya keunggulan kompetitif. Jika tidak disiapkan dan direspons dengan benar, maka kita akan mengalami nasib yang sama dengan produksi dan ekspor biji kakao,” tutur Raharjo.