sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Urgensi peningkatan nilai tambah dan keberlanjutan pada komoditas pangan

Indonesia yang memiliki komoditas pangan global cukup beragam harus mampu meningkatkan nilai tambah di setiap komoditasnya.

Erlinda Puspita Wardani
Erlinda Puspita Wardani Senin, 19 Des 2022 14:48 WIB
Urgensi peningkatan nilai tambah dan keberlanjutan pada komoditas pangan

Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Raharjo menyampaikan, tantangan sektor pangan bagi Indonesia saat ini semakin penting untuk diperhatikan. Indonesia yang memiliki komoditas pangan global cukup beragam harus mampu meningkatkan nilai tambah di setiap komoditasnya agar memiliki daya saing tinggi. Pemanfaatan teknologi dalam diversifikasi turunan komoditas juga harus segera dilakukan.

Seperti halnya persoalan impor garam industri, gula tebu, kedelai, jagung, dan daging sapi yang seluruhnya bisa diproduksi dalam negeri, namun raharjo menilai kuantitasnya tidak mencukupi. Bahkan terkadang kualitas komoditas tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan industri pangan di dalam negeri.

“Di sisi ekspor, komoditas minyak sawit dan rempah kita memiliki daya saing cukup tinggi di perdagangan internasional dan domestik karena memiliki comparative advantage yang didukung volume produksi yang besar dan kesesuaian dengan kondisi daerah tropis, tapi keduanya masih diekspor dalam kondisi mentah atau utuh,” ujar Raharjo dalam pemaparannya bertajuk “Pangan Berdaulat, Generasi Sehat, Bangsa Bermartabat”  di Rapat Terbuka Puncak Peringatan Dies Natalis ke-73 UGM, Senin (19/12).

Kemudian Raharjo juga menyebutkan input teknologi untuk diversifikasi produk turunan komoditas masih sedikit. Apalagi saat ini produksi komoditas dihadapkan dengan tantangan untuk produksi secara berkelanjutan.

“Ini artinya, meskipun komoditas tersebut memiliki keunggulan komparatif, tapi perkembangan persaingan perdagangan global saat ini dan ke depan menuntut adanya keunggulan kompetitif. Jika tidak disiapkan dan direspons dengan benar, maka kita akan mengalami nasib yang sama dengan produksi dan ekspor biji kakao,” tutur Raharjo.

Menurutnya, dari pengalaman masa lalu, Indonesia hanya bisa jadi pengekspor biji kakao sebagai bahan baku, sementara nilai tambah yang besar justru dinikmati oleh industri cokelat di negeri tujuan ekspor.

“Lebih memprihatinkan lagi, ternyata untuk memenuhi kebutuhan industri pemenuhan cokelat di dalam negeri, pada beberapa tahun terakhir ini kita harus mengimpor biji kakao dari negara lain,” tambahnya.

Ia juga menjelaskan adanya perubahan di bidang pangan dan pertanian dalam 10 tahun terakhir dan ke depan. Sehingga diperlukan pertimbangan dalam menyusun strategi baru untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi setiap negara. Pertama, kondisi iklim saat ini polanya semakin sulit diperkirakan dan semakin ekstrim dengan serangan hama dan penyakit yang semakin ganas. Kedua, peningkatan proporsi penduduk usia lanjut dan konsumen pangan yang semakin peduli terhadap pengaruhnya bagi kesehatan diri.

Sponsored

Ketiga, adanya tuntutan kebutuhan pangan yang semakin spesifik bagi individu yang seiring dengan peningkatan penghasilan penduduk yang membutuhkan penyediaan pangan yang makin beragam dan layanan penyajian makanan yang harus menyesuaikan tuntutan gaya hidup beragam. Keempat yaitu pemasaran dan distribusi pangan yang semakin luas, menembus batas-batas negara, di satu sisi membuka peluang pangsa pasar baru bagi produk tertentu, tetapi di sisi lain menimbulkan kompetisi yang makin ketat dengan produk yang sudah ada. Terakhir kelima adalah terganggunya rantai pasok pupuk dan serealia karena adanya konflik Rusia-Ukraina yang masih berlanjut.

Lebih lanjut, tantangan ke depan menurut Raharjo antara lain cara yang harus dilakukan dalam menghasilkan pangan yang cukup dan beragam untuk memenuhi kebutuhan terutama di Indonesia yang jumlah penduduknya sangat besar dan terus meningkat, padahal daya dukung sumber daya alam yang tersedia cenderung makin menipis.

“Penggunaan SDA air yang sudah terlalu besar dan pencemaran air yang kian meluas serta emisi gas rumah kaca juga harus dikurangi,” tegas Raharjo.

Ia menyarankan perlunya konsep alternatif dalam penanaman, seperti memanfaatkan lahan marginal dan lahan tidur untuk pertanian produktif, meningkatkan produktivitas hasil pertanian, meningkatkan penyediaan pangan sepanjang rantai pasok yang aman, meningkatkan efisiensi SDA, mengubah pola konsumsi makanan kearah yang lebih menyehatkan, dan mengurangi hasil pertanian dan makanan yang berakhir menjadi limbah.

“Dengan cara alternatif tersebut, diperkirakan dapat meningkatkan ketersediaan pangan bahkan mencapai 100 persen dengan tetap menjaga dampaknya bagi lingkungan yang minimal,” tandas Raharjo. 

Berita Lainnya
×
tekid