Krisis di Selat Formosa: Di balik peliknya relasi AS, China, dan Taiwan

Amerika Serikat sempat berencana meninggalkan kaum nasionalis China dalam konflik dengan pasukan komunis pimpinan Mao.

Ilustrasi konflik antara Tiongkok dan Taiwan. Alinea.id/Firgie Saputra

Nasib Chiang Kai-shek dan pasukannya di ujung tanduk. Setelah serangkaian kekalahan memalukan dalam pertempuran-pertemburan melawan pasukan komunis China, Chiang mulai merencanakan mundur ke Formosa (Taiwan) pada Agustus 1948. Bersama ratusan ribu prajurit dan jutaan warga China, Chiang terjebak di pulau seluas 35.801 kilometer itu.

Disokong dana besar hasil "jarahan" dari kekaisaran China dan persenjataan modern, Chiang dan kaum nasionalis China (Kuomintang) sebenarnya punya rencana untuk melancarkan serangan balik. Namun, rencana buyar setelah Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) merilis sebuah dokumen kebijakan (white paper) pada 4 Agustus 1949. 

Dalam dokumen itu, AS menyatakan bakal menghentikan semua bantuan terhadap kaum nasionalis dalam perang sipil di Tiongkok. Kala itu, hampir seluruh China daratan sudah berada di kendali kaum komunis yang dipimpin Mao Zedong. 

"Praktis, semua orang merasa harapan untuk bisa menang melawan kaum komunis telah benar-benar lenyap," kata Chiang seperti dikutip dari "Who Lost China? Chiang Kai-shek Testifies" karya Lloyd E. Eastman yang terbit di China Quarterly pada Desember 1988. 

AS merupakan sekutu terdekat China dalam Perang Dunia ke-II. Usai perang berakhir, AS masih "bersahabat" dengan Chiang dan kaum nasionalis Tiongkok. Di lain kubu, Mao mendapat sokongan dari Uni Soviet.