Suramnya masa depan Afghanistan tanpa generasi perempuan ke Universitas

PBB telah menyoroti bahwa Afghanistan adalah satu-satunya negara di dunia yang pintu pendidikannya tertutup bagi perempuan.

Foto ilustrasi: Amutv

Larangan yang dilakukan Taliban selama setahun terakhir telah melarang lebih dari 100.000 perempuan masuk universitas negeri dan swasta di Afghanistan. Menurut data Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB, partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi melonjak dua puluh kali lipat dari tahun 2001 hingga 2021. Namun, dengan kembalinya Taliban, jumlah ini anjlok hingga hampir nol.

Jika mahasiswa biasanya belajar tiga jam setiap hari, larangan tersebut mengakibatkan hilangnya hampir 1.000 jam pendidikan per mahasiswa selama setahun terakhir.

Penutupan universitas dan larangan Taliban terhadap anak perempuan untuk mengikuti ujian dewan medis telah menyebabkan daerah pedesaan mengalami kekurangan dokter.

Shadab, lulusan kedokteran Universitas Herat, tidak diberi kesempatan untuk mengikuti ujian Dewan Medis Tertinggi setelah Taliban naik ke tampuk kekuasaan. “Saya menjalani tujuh tahun belajar intensif, mempersiapkan ujian EXIT. Namun sebelum dimulai, itu dibatalkan. Meski persiapannya sudah dua tahun, kami tidak bisa mengikuti tes tersebut. Sekarang, kami kesulitan mendapatkan pekerjaan, karena rumah sakit memerlukan sertifikasi yang tidak kami miliki,” keluhnya.

Siswa yang gagal lulus ujian Dewan Kedokteran Tertinggi tidak dapat berpraktik sebagai dokter. Pembatasan yang diberlakukan oleh Taliban ini berdampak pada perempuan di semua provinsi.