Call me by your name: Merayakan cinta dan kehilangan

Sebab patah hati perdana selalu jadi yang paling menyakitkan.

Film Call Me by Your Name (2017)./ IMDB

Film “Call Me by Your Name” (2017) besutan sutradara Luca Guadagnino mengusung pesan, cinta dan luka selalu dikemas jadi satu paket dalam romansa. Bahwa kemudian tokoh utama sama-sama berada dalam identitas yang sama sebagai lelaki, itu soal lain. Film yang diangkat dari novel karya André Aciman ini hanya ingin menunjukkan, luka sama nikmatnya dengan cinta. Sebaliknya cinta tak bisa berdiri sendirian tanpa pil pahit. Singkatnya, cinta adalah bahasa universal yang selalu beririsan dengan rasa sakit.

Film yang dirayakan dengan lusinan nominasi Oscar dan Globe ini memang mengangkat kisah percintaan dari pemuda tanggung berusia 17 tahun, Elio (Timothée Chalamet) pada Oliver (Armie Hammer). Oliver sendiri merupakan mahasiswa yang diundang ayah Elio, seorang profesor di kampus untuk menginap di villa ibunya di Italia.

Untuk film yang berfokus pada genre coming of age, film ini menawarkan hal yang kurang lebih sama seperti “Lady Bird”. Itu menekankan betapa cinta pertama selalu penuh romantika, sarat dengan kegugupan saat perasaan ini berseliweran di antara ketidakpastian. Yang menarik, cinta pertama yang dirasakan Elio ini justru bukan pada perempuan cantik—yang kerap bertandang ke villa ibunya—namun pada sosok lelaki yang delapan tahun lebih tua darinya.

Usaha penaklukan pada cinta pertama pun dimulai. Kamera akan bergulir perlahan memberi detail fase yang Elio lalui untuk menggaet perhatian si pujaan hati. Bermain piano dengan menggubah lagu agar Oliver terkesan, memandang lekat, hingga memberi perhatian, semua dilakukan Elio dengan kadar emosi yang meletup-letup khas remaja seumurannya.

Kendati ia telah memiliki kekasih perempuan yang notabene merupakan kawannya sejak kecil, namun pesona Oliver jelas tak terbantahkan. Ia bersaing dengan gadis-gadis yang mendekati Oliver. Bahkan ia terpaksa membandingkan kekasih perempuannya dengan mahasiswa tampan tersebut.