Kontradiksi pengembangan wisata Labuan Bajo dan penutupan Pulau Komodo

Pengembangan wisata di Taman Nasional Komodo seharusnya melibatkan penduduk setempat, bukan justru menyingkirkannya.

Ilustrasi wisata Pulau Komodo. Alinea.id/Dwi Setiawan

Tak kurang dari lima puluh orang warga asal Nusa Tenggara Timur (NTT) berunjuk rasa di depan kantor Penghubung Pemerintah Provinsi NTT di Tebet, Jakarta Selatan, awal Agustus 2019 lalu. Kelompok yang menamakan diri sebagai Gerakan Patriot Muda Nusa Tenggara Timur (GARDA NTT) itu menuntut Pemerintah Provinsi NTT bersikap terbuka atas rencana merelokasi warga di Pulau Komodo.

Hal itu menyusul pernyataan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat pada awal Mei lalu, yang berencana menutup Pulau Komodo pada 2020. 

"Kami mau agar tidak ada manusia yang tinggal di Pulau Komodo," kata Viktor 21 Mei 2019 lalu.

Viktor beralasan, penutupan untuk memulihkan kondisi habitat tempat hidup komodo guna meningkatkan nilai wisata di Pulau Komodo. Menurutnya, kebijakan ini semata-mata untuk mengangkat martabat masyarakat di provinsi tersebut. "Kebijakan ini juga demi pelestarian lingkungan hidup dan yang paling penting pemenuhan kesejahteraan seluruh masyarakat NTT," kata Viktor 24 Agustus 2019.

Even Djawang, seorang pengunjuk rasa asal Larantuka, Flores Timur, mengungkapkan rencana itu membuat resah warga Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Warga NTT di luar kawasan Pulau Komodo pun ikut prihatin dan bersolidaritas.