Mengintip bahaya minuman berpemanis dalam kemasan

Dalam dua dekade terakhir konsumsi MBDK meningkat 15 kali lipat.

Ilustrasi minuman berpemanis. Foto Pixabay.

Minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) menjadi idola di tengah masyarakat. Sebuah survei menunjukkan Indonesia berada pada urutan ketiga di negara Asia Tenggara yang terbanyak mengonsumsi MBDK. Kelompok yang paling banyak meminumnya adalah anak-anak dan remaja berusia 5 tahun hingga 18 tahun. 

Data yang diungkapkan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyebut dalam dua dekade terakhir konsumsi MBDK meningkat 15 kali lipat. Tingginya konsumsi MBDK termasuk di kalangan anak-anak sejalan dengan meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular. Seperti risiko obesitas, diabetes, hingga penyakit kardiovaskular.

MBDK adalah minuman yang mengandung gula tambahan atau pemanis buatan, dan dikemas dalam botol, kaleng, atau wadah lainnya. Jenis minuman ini biasanya telah siap diminum dan dapat ditemukan di toko-toko swalayan, restoran cepat saji, mesin penjual otomatis dan tempat lainnya. Pemanis yang digunakan dalam minuman berpemanis dapat berasal dari gula alami seperti sukrosa atau gula tebu atau dari pemanis buatan seperti sukralosa, aspartam, siklamat, aksesulfam-K, dan sebagainya.  Minuman berpemanis menjadi populer karena rasanya yang manis dan kenyamanannya dalam pengemasan serta penyajian. Jenis minuman ini sangat ngetren di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen mengatakan produk tinggi gula sama dengan rokok, lambat laun membuat konsumen kecanduan. Beberapa ciri kecanduan gula disebut mirip kecanduan rokok. 

“Beberapa ciri kecanduan ini termasuk kalau kita lagi bete atau sebel yang dicari adalah makanan manis atau minuman manis. Inginnya makan cuma sedikit, tapi lama-lama sepotong gede, next sudah enggak bisa ngebatasin. Sama seperti orang merokok jadi kebiasaan dan tergantung sama rokok,” kata dokter Tan, dikutip Sabtu (9/12).