sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengapa cukai minuman berpemanis penting bagi warga dan negara?

Pengawasan terhadap minuman manis baru sebatas dalam kemasan, belum termasuk minuman dari kedai. Prevalensi diabetes diprediksi meledak.

Kartika Runiasari
Kartika Runiasari Kamis, 12 Jan 2023 18:35 WIB
Mengapa cukai minuman berpemanis penting bagi warga dan negara?

“Di mana ada ruko kosong, di situ (bakal) ada Mixue”. Begitulah meme yang viral di linimasa berbagai sosial media. Memang bukan kebetulan jika gerai es krim dan teh asal China ini menjadi sedemikian viral. Tak lain karena ‘invasinya’ yang massif hingga ke tingkat kecamatan di Indonesia.

Waralaba asal Zhengzhou, Henan, Tiongkok ini lahir dari tangan Zhang Hong Chao yang ingin memperbaiki ekonomi keluarga pada 1997 silam. Baru pada tahun 2020, Mixue masuk ke tanah air. Hanya dalam waktu dua tahun, kedai Mixue di Indonesia hingga Maret 2022 mencapai 317 buah dan dipastikan akan terus bertambah. Jenama ini juga menjadi waralaba food and beverages terbesar kelima dengan jumlah kedai terbanyak di dunia, yakni 21.582, berdasarkan data Momentum Works pada 2021.

Salah satu faktor mengapa Mixue bisa memiliki gerai bejibun tak lepas dari promosinya yang gencar. Apalagi, harga es krim yang dijual murah, mulai Rp8.000. Tak hanya Mixue, minuman kekinian lain seperti kopi, teh, maupun boba juga membanjiri tanah air dengan beragam varian rasa.

“Kedai minuman siap saji semakin banyak, jadi makin mudah diakses. Masalahnya adalah pengawasan dan regulasi belum cukup ketat mengatur minuman-minuman ini,” kata Chief of Research and Policy Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda kepada Alinea.id, Kamis (12/1).

Sejauh ini, kata dia, regulasi pemerintah soal minuman berpemanis masih menyasar Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MDBK). Sementara, minuman siap saji yang diproduksi kedai minuman yang menjamur di Indonesia, pengawasannya masih lemah.

“Dengan masih mudahnya akses dan harga murah, maka prevalensi diabetes dan obesitas bakal lebih cepat meningkat dibanding prediksi awal dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan), sekitar 2% kenaikannya,” beber Olivia.

Padahal, saat ini Indonesia menjadi negara dengan penderita diabetes terbesar kelima di dunia, yakni 19,5 juta jiwa, menurut laporan International Diabetes Federation (IDF). Di posisi pertama adalah China dengan penderita diabetes 140,9 juta jiwa. Lalu India sebesar 74,2 juta jiwa, Pakistan 33 juta jiwa, dan Amerika Serikat sebanyak 32,2 juta jiwa.

Secara global, IDF memperkirakan ada 537 juta jiwa yang mengidap diabetes pada tahun 2022. Sementara, lebih dari 6,7 juta orang diperkirakan meninggal akibat penyakit tersebut.

Sponsored

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

Peningkatan jumlah penderita diabetes di Indonesia tergolong cepat. Mengutip laporan IDF, pada 2019 Indonesia masih menduduki posisi ketujuh dengan penderita diabetes 10,7 juta jiwa. Indonesia ‘berhasil’ menyalip Brazil dan Meksiko yang masing-masing tercatat memiliki penderita diabetes 16,8 juta jiwa dan 12,8 juta jiwa kala itu.

Prevalensi penyakit diabetes dari total penduduk Indonesia kian mengkhawatirkan. Riskesdas Kemenkes pada 2018 mencatat, prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur di atas dan sama dengan 15 tahun sebesar 2%, naik dari Riskesdas 2013 (1,5%).

Peningkatan signifikan juga terjadi pada prevalensi diabetes melitus menurut pemeriksaan gula darah: sebesar 6,9% pada 2013, melonjak jadi 8,5% pada 2018. Ironisnya, merujuk Riskesdas 2018, baru 25% penduduk yang baru mengetahui dirinya mengidap diabetes dari pemeriksaan gula darah.

Kriteria diabetes melitus pada Riskesdas mengacu pada konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) yang mengadopsi kriteria American Diabetes Association (ADA). Angka prevalensi diabetes melitus berdasarkan konsensus Perkeni pada tahun 2015 bahkan naik menjadi 10,9%.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Artinya, proporsi dari total populasi penduduk Indonesia yang menderita penyakit diabetes melitus akan semakin banyak. “Trennya lebih cepat dengan pola konsumsi yang sekarang,” kata Olivia.

Menurut Olivia, banyak faktor yang memengaruhi keputusan generasi muda membeli minuman manus. Namun, ini tidak lepas dari preferensi gaya hidup yang gemar menenggak minuman manis siap saji. Apalagi di tengah era internet yang membuat arus informasi mudah menyebar.

Menurut dia, masyarakat perlu mengedukasi diri sendiri dan sekitar dengan merubah pola hidup dan pola makan untuk menghindari risiko penyakit 'kencing manis' ini. Faktor lain yang tak kalah penting adalah dukungan kebijakan pemerintah untuk menciptakan lingkungan hidup lebih sehat. Termasuk mengontrol promosi dan pengenaan cukai sebagai instrumen fiskal.

Sayangnya, sejauh ini hanya minuman kemasan (MBDK) yang terikat aturan untuk mencantumkan komposisi bahan pemanis dalam label. Sementara minuman siap saji beredar bebas tanpa label kandungan nutrisi. Artinya, ketika masyarakat mengonsumsi minuman manis siap saji baik kopi, teh, boba, dan lainnya tidak ada informasi nutrisi, termasuk kadar gula di dalamnya.

Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, kata Olivia, produsen wajib mencantumkan soal kadar nutrisi. Ini juga berlaku bagi merek makanan dan minuman dengan jumlah kedai lebih dari 250 titik. 

“Sebenarnya cukup memungkinkan dicantumkan, tapi pengawasan pemerintah lemah. Sekarang lepas kontrol lagi. Harusnya bisa, tapi belum diterapkan,” beber Olivia.

Wajib mencantumkan label kadar nutrisi satu hal. Hal lain yang tak kalah penting, kata Olivia, adalah edukasi pada semua lapisan masyarakat, terutama generasi muda. 

“Dengan adanya labeling belum tentu masyarakat tidak jadi beli. Karena mereka bisa jadi tidak paham kandungan di label itu bagus atau jelek,” ungkap Olivia.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Bagi Olivia, hal lain yang harus didorong adalah dari sisi kebijakan. Salah satu yang telah mengemuka adalah rencana pengenaan cukai MBDK yang masuk dalam APBN 2023. Pada 2022, pemerintah sudah mematok target penerimaan dari cukai MBDK sebesar Rp1,5 triliun yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) 104 Tahun 2021. 

Sampai saat ini, pemerintah masih menyusun rancangan teknis dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi stabilitas ekonomi negara serta penerimaan masyarakat untuk menerapkan cukai MBDK. Pada 2021, Kementerian Keuangan mengusulkan pengenaan cukai pada produk MBDK dapat dilakukan dengan tarif Rp1.500 hingga Rp2500 per liter. 

Aturan ini sepertinya masih belum bisa dijalankan tahun ini. Alasannya, ekonomi 2023 masih penuh ketidakpastian. "Target penerimaan MBDK dan cukai plastik itu sifatnya perencanaan. Sama dengan yang kami lakukan pada 2022. Implementasinya akan kami sesuaikan dengan ekonomi, sosial, dan pemulihan ekonomi 2023," ujar Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani dalam Konferensi Pers APBN Kita, Rabu (21/12/2022).

Beban besar

Sebagai penyakit metabolik, diabetes nyatanya telah membebani negara melalui klaim BPJS Kesehatan yang jumlahnya sangat besar. Penyakit diabetes melitus tipe II memang ditanggung oleh BPJS Kesehatan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 28/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. 
 
"Diabetes merupakan ibu dari segala penyakit. Kalau tidak melakukan intervensi yang tepat sejak dini, angka penanganan diabetes di pelayanan kesehatan pada 2030 nanti akan mencapai 71% dari alokasi anggaran Rp129 triliun. Ini adalah beban terbesar pada dana BPJS," ungkap anggota Komisi IX DPR RI Dewi Asmara, beberapa waktu lalu.

BPJS Kesehatan mencatat, penderita diabetes menduduki peringkat tertinggi dalam pengelolaan Program Rujuk Balik (PRB) di Fasilitas Kesehatan Tahap Pertama (FKTP), yakni sebesar 39,8%.

“Total biaya pengobatan diabetes tipe 2 dan komplikasinya mencapai US$576 juta atau sekitar Rp8,6 triliun pada 2016. Dari jumlah itu, 74% biaya digunakan untuk manajemen penderita komplikasi terkait diabetes,” kata Deputi Direksi BPJS Kesehatan Ari Dwi Aryani beberapa waktu silam.

Lantas, apakah pengenaan cukai minuman berpemanis akan efektif menekan konsumsi? 

Olivia memaparkan, hasil studi CISDI memperlihatkan pengenaan cukai cukup efektif di negara lain. “Memang range tarif cukainya beda-beda. Tapi dari banyak studi itu mampu menurunkan konsumsi dan demand masyarakat ketika dikenakan cukai karena ini kan termasuk elastik,” tuturnya.

CISDI menghitung dengan pengenaan tarif cukai 20% pada MBDK akan menurunkan demand masyarakat hingga 17,5% karena harga jual MBDK menjadi lebih mahal. Sementara, World Health Organization (WHO) juga merekomendasikan tarif cukai sebesar 20% adalah yang paling optimal.

Adapun lima kelompok MBDK yang ditelaah adalah susu cair pabrik, susu kental manis, kopi instan, air teh kemasan, minuman bersoda/ mengandung CO2, dan sari buah kemasan, minuman kesehatan, dan minuman berenergi. Selain mengurangi konsumsi MBDK, kata Olivia, kebijakan ini bisa menambah pendapatan negara hingga Rp3,6 triliun dalam setahun.

Namun, lagi-lagi kebijakan ini masih menyentuh minuman dalam kemasan. Sementara, pengawasan terhadap minuman siap saji dari kedai-kedai yang menjamur di setiap pelosok tanah air masih abu-abu. Begitupun dengan jumlah kedai minuman yang menjamur, namun belum terdeteksi total jumlahnya. 

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Berita Lainnya
×
tekid