Paradoks pernikahan usia dini dan angka perceraian yang tinggi

Kasus pernikahan dini serta perceraian di Indonesia mengalami lonjakan setelah pandemi.

Ilustrasi Alinea.id/Catharina.

Tanpa persiapan berarti, Siti (18 tahun) mengalami persalinan dini atau prematur di usia kandungan 8 bulan. Dirinya bahkan tak sempat meninggalkan tempat tidur dan mengalami pecah ketuban dan rasa mulas luar biasa. Selang beberapa jam kemudian, di pertengahan malam, bayinya lahir tanpa bantuan tenaga medis.

Di kamar kos berukuran 3 kali 3 meter, Siti hanya ditemani sang suami, Regi (24). Keterbatasan biaya dan ketidaktahuan membuat mereka hanya berdiam menunggu bayi lahir di kamar yang berada di sekitar pasar Ciputat, Tangerang Selatan itu.

“Bayinya lahir langsung nangis, saya bingung lalu panggil bapak saya di pasar. Bapak sampai di kamar terus saya jemput ibu saya yang kerja,” kata Regi saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (28/6) lalu.

Selepas ayah dan ibunya berkumpul, Regi bergegas menggendong sang istri ke klinik bidan terdekat. Di sanalah dia baru mengetahui, bayi laki-laki yang sangat mungil itu hanya seberat satu kilogram. Sang bayi lahir bersama dengan plasentanya. Siti pun mengalami pendarahan dan telah mendapat perawatan dari sang bidan.

Regi memang belum mapan. Bagaimana tidak, meski sudah menikah Juli tahun lalu lelaki berperawakan kurus ini memang belum berpenghasilan. Boro-boro menerima gaji bulanan sebagai pekerja tetap, pekerjaan serabutan pun ia tak punya. Tak heran, kehamilan sang istri tidak diperiksa secara rutin.