Perempuan yang dilenyapkan sejarah

Historiografi Orde Baru telah melenyapkan nama perempuan-perempuan seperti Sugiarti dan S. Rukiah dari kesusastraan tanah air.

Ilustrasi perempuan./ Pixabay

Perempuan-perempuan seperti Sugiarti dan S. Rukiah terselip dari sejarah kesusastraan tanah air. Puluhan karya sastra soal perempuan dan anak memang telah dilahirkan dari keresahan mereka semasa hidup. Namun bagi rezim pencipta sejarah yang diorganisir Soeharto dan sejarawan militer Nugroho Notosusanto, jejak mereka tiada.

Tak heran jika yang “bunyi” dari sastrawan perempuan lawas hanya mereka yang bercerita soal hingar bingar kehidupan, dengan corak Eropa abad-19. Pun mereka yang lengket dengan penerbit kanon sejak era kolonial, Balai Pustaka, seperti NH. Dini dan Sariamin Ismail.

Itu pun tak semua terbitan Balai Pustaka yang didokumentasikan dalam sejarah. Historiografi Orde Baru hanya menyeleksi sastrawan yang “tak berbahaya” dan yang mustahil menggoyang status quo. Sementara untuk penulis yang kerap menyambung lidah kaum akar rumput, mengangkat persoalan buruh, petani, anak, dan perempuan justru dilenyapkan.

Lantas sepenting apa hingga publik perlu paham siapa Sugiarti dan Rukiah? Seorang penulis bernama Fairuzul Mumtaz dalam bukunya, “Karya-karya Lengkap Sugiarti Siswadi: Hayat Sastrawan Kreatif Lekra” (2016) menulis, dengan posisi Sugiarti sebagai anggota teras pengurus pusat LEKRA dan menghasilkan 17 cerita pendek, 5 puisi, dan 2 buku kumpulan cerpen, aneh namanya raib dari khasanah sastra. Dalam buku-buku rujukan sejarah sastra Indonesia, seperti Pokok dan Tokoh karya A. Teeuw dan Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (4 jilid) karya H.B. Jassin, nama Sugiarti nihil.

Demikian halnya dengan Rukiah yang sangat jarang diperbincangkan. Padahal semasa hidup, ia pernah menulis karya sastra indah yang sekaligus jadi magnum opus, “Kejatuhan dan Hati” dan “Tandus”. Belum kumpulan cerita pendek dan puisinya yang lain.