Pusaka masih menjadi legitimasi pemimpin terhadap rakyat

Kujang dan Golok Ciomas, menurut antropolog memiliki nilai, simbol, dan ide yang berfungsi bukan hanya sebagai identitas untuk masyarakat.

Ketua Umum Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) Jaya Suprana (kiri) bersama Direktur Utama MURI Aylawati Sarwono (tengah) menyerahkan piagam penghargaan MURI untuk senjata kujang terbesar kepada Wakil Ketua DPR Fadli Zon (kanan) di Kampung Budaya Sunda Paseban, jalan Tegal Luhur, Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat./AntaraFoto

Banyak pemimpin dan kandidat calon gubernur di Indonesia, khususnya Jawa Barat dan Banten menggunakan "pusaka" atau senjata yang diyakini memiliki kekuatan, sebagai legitimasi kekuasaan terhadap rakyat dan pemerintahan.

Pernyataan itu disampaikan dua peneliti antropologi sosial dari Prancis Sarah-Anas Andrieu dan Gabriel Facal saat mempresentasikan hasil riset mereka mengenai dua senjata tradisional yaitu Kujang dan Golok Ciomas di Pusat Kebudayaan Prancis (IFI), Jakarta.

"Pusaka berbeda dengan senjata tradisional lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari material atau bahan yang dipilih dalam proses pembuatan dan fungsinya untuk sosial," kata doktor antropologi sosial dari lembaga riset Centre Asie du Sud-Est (CASE Paris, EHESS/CNRS) Sarah, seperti dilansir Antara di Jakarta, Rabu (2/5) malam.

Kujang dan Golok Ciomas, menurut antropolog itu memiliki nilai, simbol, dan ide yang berfungsi bukan hanya sebagai identitas untuk masyarakat Jawa Barat dan Banten, tetapi juga sebagai simbol, status, dan sistem pemikiran.

"Sejak sistem pemerintahan di Indonesia beralih dari sentralisasi ke desentralisasi, penggunaan pusaka, misalnya Kujang di Jawa Barat meningkat seiring dengan kebutuhan untuk menguatkan identitas mereka agar berbeda dengan daerah lainnya," tambahnya.