Riwayat agama Baha'i

Berkembang di Persia sejak 1844, agama Baha'i masuk ke Nusantara sebelum Indonesia merdeka.

Ilustrasi tempat ibadah umat Baha'i. Alinea.id/Enrico P.W.

Agama Baha'i  mendadak tenar usai video ucapan selamat Hari Raya Naw-Ruz 178 dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ke komunitas Baha'i viral di media sosial, akhir Juli lalu. Padahal, ucapan Menag Yaqut tercatat diutarakan empat bulan sebelumnya. 

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis, misalnya, meminta agar pemerintah tidak menyamakan perlakuan antara enam agama yang diakui negara dengan agama atau aliran kepercayaan lainnya yang belum mendapat pengakuan negara. 

Cholil bahkan menyebut pemerintah tidak perlu melayani atau memfasilitasi penganut Bahai dan agama-agama yang tidak diakui negara. "Baha'i yang sudah jadi komunitas agama jangan menodai agama lain," kata Cholil.

Baha'i berakar dari Babism (Al-Babiyah), sebuah aliran agama monoteistik Samawi yang diperkenalkan Sayyed Alí Muhammad  Shirazi (Mirza Ali Muhammad al-Syairazi) di Persia pada 1844. Pada 1950, Shirazi dieksekusi pemimpin Persia karena mendaku sebagai rasul utusan Tuhan.

Sepeninggal Shirazi, Babisme, kemudian dikenal dengan sebutan agama Baha'i, disebarluaskan oleh Baháu'lláh dan putranya Abdul Baha'i ke seluruh dunia. Secara umum, Baha'i mengajarkan perdamaian dunia serta kesatuan suku, bangsa, dan agama.