Anak dan benih-benih kebencian

Perkembangan anak dipengaruhi oleh hereditas (penurunan sifat genetik dari orangtua) dan lingkungan di mana ia berada.

Mei lalu, bom meledak di Surabaya dan Sidoarjo. Para pelaku tewas, korban-korban berjatuhan. Tak hanya sampai di situ, bom kembali meledak di Polrestabes, Surabaya. Teroris-teroris pun diburu. Terakhir, di Universitas Riau, Detasemen Khusus atau Densus
88 Antiteror menangkap tiga terduga teroris yang tercatat sebagai alumni kampus tersebut.

Beberapa pihak pun menyatakan—dengan penuh semangat, dan berusaha meyakinkan—bahwa terorisme tak ada hubungannya dengan agama. Pernyataan itu, kalau ditujukan untuk menjaga perdamaian dan mendinginkan suasana, memang mengandung
kebenaran; selain perlu juga ditengok siapa yang mengucapkannya, apa kepentingannya, dan siapa yang mendengarkannya serta diajaknya bicara.

Namun di bangsa ini—bahkan dalam taraf yang lebih luas, yaitu di sejarah dunia—benarkah terorisme atau beberapa tragedi kemanusiaan benar-benar terlepas dari agama? Jawabannya justru sebaliknya, agama sering dijadikan alat untuk membunuh. Dari
Perang Salib yang menewaskan begitu banyak orang, hingga ISIS yang melancarkan aksi-aksi teror dengan berbagai cara yang brutal, agama—atau katakanlah penafsiran yang keliru terhadap ajaran agama—memainkan peran utama.

Lalu, mengapa bangsa Indonesia menjadi sasaran terorisme? Di balik (berbagai kemungkinan) keberadaan konspirasi global yang menjadi kajian para intelijen, secara sosial di masyarakat kita telah tercipta berbagai interaksi dan konflik yang menyuburkan
terorisme. Mau tidak mau kita pun harus mengakui bahwa benih-benih permusuhan dan intoleransi yang membawa-bawa agama tumbuh subur di Tanah Air. Mari menengok berbagai peristiwa yang terjadi belakangan, bahkan realitas yang beberapa di antaranya
(masih) terbentang di depan mata kita pada masa kini.

Orang-orang tertentu suka menyebut “kafir” mereka yang berbeda agama atau aliran. Persekusi terhadap orang yang dianggap menista agama atau pemimpin agama juga sempat marak diberitakan beberapa tahun belakangan. Tiap akhir tahun, menjelang Natal, media sosial dipenuhi keriuhan tentang boleh atau tidaknya memberikan ucapan selamat. Di bangku-bangku sekolah, radikalisme-intoleransi tumbuh subur, siswa ada yang mulai disusupi pemahaman tentang penggantian ideologi Pancasila dengan agama tertentu.