Bagaimana sebaiknya Indonesia menangani masalah Uighur?

Opsi kebijakan mana yang paling rasional bagi Indonesia? Tidak ada opsi yang ideal.

Mohamad Rosyidin

Salah satu polemik terkait konflik Uighur adalah tentang peran Indonesia. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, Indonesia diharapkan mampu berperan aktif untuk mengatasi persoalan palanggaran HAM yang dilakukan pemerintah China kepada minoritas muslim Uighur di Xinjiang.

Komunitas muslim bersuara lantang mendesak pemerintah untuk segera bertindak. Banyak yang membandingkan kebijakan pemerintah Indonesia terhadap etnis Rohingya yang dipandang sangat aktif, sementara dalam isu Uighur Indonesia terkesan pasif. 

Pertanyaannya kemudian, dengan cara apa sebaiknya pemerintah menangani persoalan itu? Di ranah politik luar negeri, kasus konflik Uighur ini tidak mudah dipecahkan. Konteksnya sangat berbeda dengan konflik di Rakhine, Myanmar.

Yang paling menonjol, di Xinjiang nasionalisme etnis Uighur menghendaki kemerdekaan alias separatis. Ditambah lagi dengan keberadaan kelompok radikal Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM) yang dianggap teroris oleh pemerintah China. Pemerintah tentu harus bersikap namun perlu pertimbangan yang hati-hati (prudence) supaya tidak menimbulkan resiko yang tidak perlu.

Sebelum memutuskan kebijakan luar negeri mana yang akan diambil, pemerintah perlu mempertimbangkan beragam opsi untuk dipilih. Dalam konteks konflik Uighur, setidaknya ada lima opsi kebijakan yaitu, pendekatan koersif, legal-institusional, diplomatik, kultural-relijius, dan pasif.