Berbagai tafsir atas hadirnya super holding ini, merangsang dugaan-dugaan buruk, yang perlu diantisipasi melalui peraturan turunannya.
Disahkannya Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN telah menimbulkan polemik.
Kekisruhan atas hadirnya undang-undang ini, berangkat dari beberapa pasal yang diyakini kontradiktif dengan poin menimbang di dalam perundangan tersebut. Dinyatakan bahwa undang-undang ini lahir atas pertimbangan menjaga kedaulatan ekonomi nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui BUMN, dan atas pertimbangan pelaksanaan peran BUMN yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan ekonomi saat ini dan ke depan, yang membutuhkan pengelolaan terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam membangun daya saing nasional serta memberikan kesempatan, dukungan, pelindungan, dan kemitraan dalam pengembangan UMKM serta koperasi.
Atas dasar itu, dikatakan bahwa perlu dilakukan pemisahan antara fungsi pengaturan, pengawasan, dan operasional dalam pengelolaan BUMN, sehingga undang-undang sebelumnya perlu diubah.
Beberapa pasal polemik yang dimaksud, seperti pasal 3AB dan 3AK ayat 3 menjelaskan bahwa holding investasi dan holding operasional berbentuk perseroan terbatas, lalu Pasal 3AB ayat 4 dan Pasal 3AM ayat 1 dinyatakan bahwa seluruh saham holding investasi dan operasional dimiliki oleh Negara Republik Indonesia dan Badan (Danantara).
Secara tekstual, NKRI dan badan menjadi dua entitas yang terpisah, yang bermakna pula bahwa terdapat saham yang tidak dimiliki oleh NKRI. Pada ayat berikutnya, dijelaskan mengenai kepemilikan sahamnya. Di mana 1% saham seri A Dwiwarna adalah milik Negara Republik Indonesia melalui Kementerian BUMN, sedangkan 99% lainnya dengan istilah saham seri B, adalah milik badan.