Gen-Z dan aktivisme digital

Di Indonesia, Gen-Z juga pernah mengejutkan publik karena berpartisipasi dalam gerakan Reformasi Dikorupsi.

Yusnita Silsilia Warda

Beberapa hari lalu, penggemar K-Pop banjir pujian karena mampu “mengelabui” tim kampanye calon presiden petahana AS dari Partai Republik Donald Trump, di Tulsa, Oklahoma.

Mereka mengajak sesama penggemar K-Pop untuk memesan tiket kampanye Trump di Tulsa, kemudian bersama-sama dengan sengaja tidak hadir. Dari kapasitas arena 19.000 orang, Departemen Kebakaran Tulsa menyebutkan jumlah peserta yang hadir dalam kampanye tersebut hanya sekitar 6.200 orang saja. Trump dan Wakil Presiden Mike Pence akhirnya batal berpidato.

Sebelumnya, penggemar K-Pop juga melakukan aksi turun tangan dalam isu rasisme di Amerika. Penggemar K-Pop berhasil mengubur tagar pendukung Trump dan prokepolisian di Twitter, terkait kasus pembunuhan George Floyd.  Mereka mengejutkan banyak pihak karena sebelumnya dianggap sebagai kelompok apolitis. Bentuk partisipasinya pun unik. Mereka tidak meramaikan #BlackLivesMatter yang biasa digunakan. Mereka justru mengunggah video grup musik Korea idola mereka yang direkam dengan kamera penggemar atau fancam untuk mengubur #WhiteLivesMatter, #AllLivesMatter dan tagar lainnya.

Penggemar K-Pop sebenarnya terbiasa melakukan aktivisme digital. Pertengahan Maret, penggemar K-Pop grup musik BIGBANG, NCT, Seventeen dan Super Junior di Indonesia, masing-masing menggalang dana secara daring untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.

Perlu diingat bahwa banyak di antara mereka masih berumur belasan tahun atau masuk dalam kelompok Generasi Z atau Gen-Z. Di Indonesia, Gen-Z juga pernah mengejutkan publik karena berpartisipasi dalam gerakan Reformasi Dikorupsi yang berawal dari aktivisme digital.