Indonesia perlu membangun ulang sistemnya bukan dengan menolak kritik, tetapi dengan meresponsnya melalui reformasi struktural berbasis GRC.
Jagat media sosial X kembali riuh oleh isu yang melibatkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Unggahan akun @anggapph2 pada 10 April 2025 menyatakan, "Ternyata Bea Cukai dapat bonus pendapatan 50% dari tiap harga barang yang disita. Pantas, semangat benar kerjanya."
Meski bernada satir, unggahan tersebut memantik diskursus publik yang lebih luas tentang motif dan tata kelola dalam pelaksanaan tugas petugas Bea Cukai.
Menariknya, kritik serupa ini tidak hanya menjadi perhatian warganet domestik, tetapi juga pemerintah Amerika Serikat. Melalui 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (NTE), Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) secara eksplisit menyoroti skema insentif petugas Bea Cukai Indonesia. USTR menulis: Indonesian customs agents can receive rewards of up to 50 percent of the value of the item seized or of the duty-amount owed, yang kemudian dinilai bertentangan dengan prinsip transparansi dalam WTO Trade Facilitation Agreement. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab kebijakan tarif dagang 32% untuk barang Indonesia yang belum lama diberlakukan oleh Amerika Serikat.
Regulasi lama dalam sorotan baru
Sebenarnya, sistem insentif ini bukan kebijakan baru. Ia berakar kepada UU No.17 Tahun 2006, dan dipertegas kembali dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.04/2011, sebagai upaya mendorong pemberantasan penyelundupan yang kala itu merajalela.