Islah politik pascapilpres

Konflik politik mengacu pada sengketa kepentingan mendasar yang tidak dapat dinegosiasikan.

Dedi Kurnia, Pengamat Politik Universitas Telkom./ dok. pribadi

Tercatat dalam sejarah pengetahuan, politik adalah perbincangan publik yang selalu menarik dan tidak lekang oleh waktu. Juga tidak mengenali usia dan batas-batas gender. Politik adalah nadi kehidupan setiap orang, dengan kadar kepentingannya masing-masing. Meskipun telah berkemas dan usai, riuh rendah terkait kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) terus memadati ruang-ruang publik, dibincang soal keputusan penyelenggara yang dianggap cacat proses dan keadilan tidak dapat disingkirkan. 

Dalam proses kontestasi selalu mengemuka dua hal berseberang, menang dan kalah, memerintah dan mengontrol pemerintahan. Menjadi oposisi bukan aib politik, juga bukan kejumawaan ketika memenangi pertarungan. Menang dan kalah hanya sebuah identitas pemisah, pembeda jalan dalam membangun bangsa dan negara.

Dengan notasi demikian, seharusnya memang tidak ada diksi kalah dan menang, karena keduanya sama-sama berhak atas mandat warga negara. Oposisi, berhak atas mandat mengawal jalannya pemerintahan yang adil, membangun, dan memajukan seluruh kepentingan warga negara. Sementara pemerintah, bermandat untuk melaksanakan cita-cita bersama sebagai satu kesatuan bangsa dan negara (power for common good).

Jadi, berbeda ruang politik adalah ruh dari demokrasi itu sendiri, justru jika terjadi dialog dan upaya rekonsiliasi dengan cara merangkul semua pihak yang berkontestasi, maka demokrasi berjalan tidak seimbang, dominasi pemerintah tanpa adanya kontrol yang kuat dari oposisi menjadi dilema.

Resolusi konflik