Janji kemerdekaan dan pembangunan kebudayaan 

Alinea keempat UUD 1945 telah sangat jelas, mengatur bahwa negara memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Bambang Asrini Widjanarko, kurator seni dan pemerhati isu sosial dan budaya

“Kelahiran suatu pikiran sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan pembawaan kelahirannya. “ 
-Tan Malaka

Salah seorang pengembara revolusioner, yang satu saat mengaku tiga-perempat hidupnya dipertaruhkan di dalam bui-seperti kata pengantarnya pada buku Naar de ‘Republiek Indonesia'- ‘Menuju Indonesia Merdeka’ yang dicetak di Kanton, Tiongkok pada 1925-dalam penderitaan-penderitaan, ia bersandar harapannya selalu pada peran nalar.

Puncak Tan berseberangan dengan PKI, yang sudah terjadi sejak 1922, dan kekeraskepalaannya pada gerakan Pan-Islamisme yang bertentangan dengan gerakan komunis dunia menuntunnya untuk akhirnya “berlabuh secara intelektual” di Kanton. Sebuah kota kosmopolit, sekarang provinsi Guangzhou, China Selatan yang seturut sejarah, salah satu kota terbesar di dunia di awal abad ke-19. 

Seperti ditulis dalam pengantar Naar de ‘Republiek Indonesia' , yang merupakan buku babon, yakni hulu dari para pemikir dan tokoh perintis tentang yang “Indonesia” dan yang “Merdeka” dilantangkan secara global, Tan mengakui bahwa  fakta-fakta pergerakan dan perubahan zaman itu diinspirasi selalu oleh kelas menengah dan para intelektual.

“Mulai tumbuhnya perhatian besar atas kemajuan perkembangan pergerakan revolusioner di antara orang intelektuil” tulis Tan Malaka berapi-api.