Kesombongan sastrawan dalam berkarya

Menciptakan karya sastra, memerlukan bacaan pustaka, survei lapangan, wawancara dan ngobrol dengan masyarakat biasa.

F. Rahardi/dokumen pribadi.

Penari, penyanyi, pemusik, pemain teater memerlukan latihan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan; hanya untuk pentas selama dua jam. Mereka tahu diri, bahwa kreativitas tidak otomatis turun dari langit, tapi perlu diupayakan dengan kerja keras.

Pelukis dan pematung pun kurang-lebih sama. Untuk membuat lukisan atau patung besar; mereka membuat model dalam ukuran kecil. Mereka membuat beberapa model, dipilih, diubah, digabung-gabung, baru kemudian ditentukan pilihan akhir. Dalam memperbesar lukisan dan patung, seniman lukis dan patung dibantu pembuat kanvas, pengecor logam, dan teknisi lainnya. Mereka tidak malu dibantu teknisi. Lain halnya dengan sastrawan. Terlebih mereka yang baru belajar menjadi sastrawan.

Mereka menganggap ilham itu mirip dengan Wahyu Allah yang melesat dari langit, lalu jatuh ke pangkuannya. Setelah mendapat ilham, sastrawan akan secepatnya menulis. Begitu selesai segera ia kirimkan ke redaktur budaya media massa, dengan harapan karya itu segera dipublikasikan. Ketika redaktur budaya menolak karya tersebut, si sastrawan marah. Redaktur budaya dianggapnya bodoh, karena tak bersedia memublikasikan karyanya. Padahal, ditolak atau diterimanya sebuah tulisan di media massa, merupakan hal biasa.

Persiapan dan latihan, tampaknya merupakan barang tabu bagi sastrawan. Bahkan sering seorang calon sastrawan bilang seperti ini, “Yang penting saya nulis, enggak tahu hasilnya puisi, cerpen atau apa.” Padahal sastrawan sama saja dengan perancang busana atau meubel. Mereka sejak awal sudah harus tahu mau bikin baju, celana, meja, kursi, atau lemari? Kan lucu kalau ada perancang busana bilang, “Yang penting saya mencoret-coret kertas, enggak tahu hasilnya jadi baju atau celana.” Lho, maunya bikin baju atau celana?

Tetralogi Bumi Manusia