Di era kolonialisme, penundukan kaum pribumi lewat berbagai aturan yang memeras rakyat menjadi praktik keseharian yang lumrah.
Masih ingat gonjang-ganjing rencana pemungutan pajak sembako pemerintah pada Mei lalu? Rencana itu menuai kecaman publik karena dinilai tidak bijak. Bukan saja lantaran tidak berpihak pada nasib wong cilik, merilis rencana di saat pandemi masih jauh dari usai juga amat tidak pada tempatnya. Berbulan-bulan berlalu, pemerintah sampai sekarang belum satu suara: ada yang mendorong sembako tetap jadi barang kena pajak tapi tak dipungut, ada yang menggulirkan ide memilah bahan pokok mana yang hendak dipungut pajak dan mana yang tidak. Mana yang akan dipilih? Belum jelas. Ketimbang menebak-nebak pilihan yang mana, ada baiknya merenungkan filosofi pajak sembako.
Di era kolonialisme, penundukan kaum pribumi lewat berbagai aturan yang memeras rakyat menjadi praktik keseharian yang lumrah. Itu pula yang terjadi tatkala pemerintah kolonial Belanda mencengkeram negeri ini, yang di kemudian hari bernama Indonesia. Dalam novel Max Havellar (1860), Multatuli, nama samaran Douwes Dekker, dengan amat apik menggambarkan bagaimana pemerintah kolonial yang lalim dan korup mempraktikkan kebijakan yang memeras rakyat kecil, terutama via pajak yang mencekik.
Lewat monopoli perdagangan di bawah kongsi dagang bernama VOC dan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) rentang 1830-1870, pemerasan rakyat pribumi tanpa rasa keadilan dipraktikan dengan sempurna. Selain harus menjual hanya ke VOC, rakyat musti melakukan banyak hal untuk bisa memenuhi kewajiban membayar pajak. Jika tidak membayar pajak, apa pun milik rakyat akan disita. Kerbau atau bahkan ayam. Jika tidak punya apa pun, maka badan dengan tenaga yang melekat, juga nyawa, sebagai pengganti.
Tiap desa wajib membayar pajak atas lahan yang ditempati yang besarnya 40% dari hasil bumi. Untuk bisa membayar pajak, rakyat harus memeras keringat, mengolah lahan sesuai komoditas yang ditetapkan penguasa: kopi, teh, kakao, tebu, sawit dan aneka rempah-rempah. Hasil panen wajib dijual pada VOC dengan harga sangat murah karena ditetapkan sepihak. Lewat kontrol lahan berikut manusia di atasnya, praktik kolonialisme berlangsung amat efektif. Eksploitasi tanah jajahan bias berlangsung amat sempurna.
Di tengah derita rakyat pribumi yang tak tertanggungkan, VOC dan pemerintah kolonial Belanda meraup keuntungan luar biasa besar, bahkan eksesif. Ini dipraktikkan lewat penciptaan transportasi dari kebun hingga ke pelabuhan dan kemudian langsung menuju Holland atau pasar ekspor. Jaringan lokal dibiarkan merana dan tertinggal. Selain itu, industri pengolahan tak dibangun di wilayah penghasil bahan baku. Seluruh bahan mentah, seperti kakao, kopi, dan teh langsung diangkut ke Eropa. Hanya kelapa sawit dan gula karena bersifat perishable, industri pengolahannya dibangun di Hindia Belanda.