Lompatan Indonesia tampil kembali di gelanggang internasional

Indonesia harus memposisikan diri netral dan mengajak sebanyak mungkin negara lain untuk antiperang.

Didik J Rachbini

Perang  di zaman super modern seperti sekarang ini sangat tidak populer dan sangat membahayakan seluruh umat manusia di bumi. Perang jelas merupakan sebuah kebodohan kolektif karena jika seluruh persenjataan sangat super modern dikeluarkan atas dasar emosi marah para pemimpinnya, maka bukan hanya negara yang berperang tetapi seluruh isi bumi terancam dan bahkan hancur karena begitu kecanggihan super dari  peralatan perang pada jaman ini. Bom nuklir lebih setengah abad yang lalu, pada 1945 sudah mampu membumihanguskan dua kota Jepang. Apalagi teknologi persenjataan modern sekarang, pasti lebih dahsyat daya hancurnya dibandingkan tujuh dekade yang lalu.

Karena itu, pemimpin negara besar yang jengah itu harus berpikir lebih jauh akibat dari perang seperti sekarang ini. Sebaliknya, harus ada lebih banyak hadir pemimpin yang menjalankan misi perdamaian dibandingkan dengan unjuk kegagahan dan kepongahan untuk mengobarkan perang seperti masa perang dunia kesatu dan kedua.

Dari sisi pandangan seperti ini, maka misi perdamaian Jokowi ke Ukraina dan Rusia merupakan secercah harapan dan langkah awal agar bumi lebih damai dan jauh dari perang. Upaya perdamaian ini patut diacungi jempol dan tidak boleh berhenti melainkan nanti dilanjutkan oleh menteri di bawahnya.  

Akhirnya, setelah hampir delapan tahun Jokowi enggan datang ke forum-forum internasional, sekarang saat yang tepat untuk memerankan politik bebas aktif, seperti diamanatkan oleh UUD 1945. Citra dan kesan bahwa Jokowi “inward looking” mulai pupus karena sering tidak pernah hadir dalam pertemuan-pertemuan internasional. Namun sekali berperan dalam misi perdamaian ini, maka sekarang sudah memainkan peran yang strategis bagi dunia. Peranan ini juga sangat penting bagi Indonesia karena ini merupakan amanat UUD 1945.

Ini adalah permulaan yang sangat baik, cukup mengejutkan Jokowi mengambil keputusan ini, tentu dengan risiko bahaya yang tidak kecil, apalagi bersama Ibu Negara. Setelah bertemu Presiden Putin, misi perdamaian ini perlu dilanjutkan dalam kunjungan ke negara-negara besar di dalam G20 sendiri, utamanya China, yang sekarang tetap menahan diri.