Lonceng sensor orang tua

Orang tua masih memiliki PR untuk mengembangkan sensor mandiri terhadap film tontonan anak.

Dalam Cinema Paradiso (Giuseppe Tornatore, 1988), Romo Adelfio seminggu sekali mendatangi bioskop setempat. Sebelum sebuah film diputar di Giancaldo, Sicilia, Italia, ia akan memeriksanya. Bila muncul adegan ciuman, ia membunyikan lonceng. Tukang proyektor harus menggunting adegan itu. Begitulah, berkat lonceng sensor sang romo, orang Giancaldo belum pernah menyaksikan adegan ciuman di layar perak.

Lembaga Sensor Film (LSF) berperan mirip dengan Romo Adelfio bagi masyarakat penonton film di Indonesia. Lembaga ini bertugas menetapkan status edar film dan meluluskan sebuah film secara utuh atau setelah memotong bagian yang dianggap tidak layak untuk ditayangkan kepada umum. LSF juga menetapkan penggolongan usia penonton bagi film bersangkutan.

Tugas LSF relatif memudahkan orang tua dalam memilih film yang akan ditonton bersama anak. Masalahnya, di satu sisi, tidak sedikit orang tua yang mengabaikan penggolongan usia penonton bagi suatu film. Lumayan sering kita mendengar cerita tentang orang tua yang mengajak anak di bawah umur menonton film yang diperuntukkan bagi penonton dewasa.

Di sisi lain, penggolongan usia penonton kerap tidak cukup menggambarkan muatan dan kualitas film. Film yang direkomendasikan untuk “segala umur” biasanya ditandai oleh apa yang tidak terkandung di dalamnya: tidak ada kata-kata kasar, kekerasan, dan adegan seks. Sampai di situ masih cukup dimaklumi. Sayangnya, film semacam itu juga cenderung dibesut kurang serius. Kisahnya mudah ditebak, pesannya menggurui, dan secara teknis serba tanggung. Dengan kata lain, film yang kurang berkualitas.

Orang tua masih memiliki PR untuk mengembangkan sensor mandiri terhadap film tontonan anak. Bagaimana memilihkan film yang bukan hanya cocok bagi anak, tetapi sekaligus berkualitas?