close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Edwin (Morgan Oey) menjadi guru di sekolah SMA Duri dalam film Pengepungan di Bukit Duri./Foto imdb.com
icon caption
Edwin (Morgan Oey) menjadi guru di sekolah SMA Duri dalam film Pengepungan di Bukit Duri./Foto imdb.com
Sosial dan Gaya Hidup - Hiburan
Selasa, 22 April 2025 06:09

Pengepungan di Bukit Duri dan potret sadisme remaja

Film ini menampilkan adegan brutal di tengah situasi yang rusak.
swipe

Pengepungan di Bukit Duri dibuka dengan kerusuhan rasial terhadap orang Tionghoa pada 2009 di Jakarta. Di tengah kerusuhan itu, kakak Edwin (Morgan Oey), diperkosa. Pada 2027, Edwin mengemban tugas mencari keponakannya, yang menurut kakaknya sebelum meninggal, dia titipkan kepada seseorang dengan posisi ada di timur Jakarta.

Edwin yang menjadi guru seni, berpindah-pindah sekolah demi mencari keponakannya yang kemungkinan sudah remaja. Hingga akhirnya, dia mengajar di SMA Bukit Duri, sebuah sekolah anak-anak buangan, yang menjadi sekolah terakhir di Jakarta Timur yang dia “singgahi”. Sekolah itu tertutup, lebih mirip sebuah penjara.

Bukit Duri di film Joko Anwar—sang sutradara film ini—bukan wilayah yang di dunia nyata ada di Jakarta Selatan. Bukit Duri di film ini letaknya ada di Jakarta Timur.

Pengepungan di Bukit Duri menggambarkan bagaimana negara kehilangan kontrol dari pemerintah, moral yang bobrok, situasi yang serba mencekam, gagalnya sistem pendidikan, rasisme, dan kekerasan yang menjadi seperti lazim.

Sebagai seorang guru keturunan Tionghoa, Edwin tak punya wibawa di depan siswa-siswanya yang bandelnya bukan main. Edwin terlibat konflik dengan seorang muridnya, Jefri (Omara Esteghlal), yang punya geng di kelas itu. Geng ini kerap membuat onar. Bahkan, menyiksa beberapa Tionghoa.

Mengulang peristiwa 2009, digambarkan pada 2027 kerusuhan rasial pun pecah. Dimulai dari utara Jakarta.

Geng Jefri dan tujuh temannya inilah yang mengepung Edwin dan Diana (Hana Pitrashata Malasan), serta dua murid mereka, Rangga (Fatih Unru) dan Kristo (Endy Arfian) di gelanggang olahraga sekolah itu. Mereka membawa berbagai senjata tajam.

Satu hal yang perlu dicermati, Jefri bukan preman. Dia adalah remaja yang masih duduk di bangku SMA. Hanya, perilaku brutalnya sudah di luar nalar.

Misalnya, saat mengepung Edwin, Diana, dan dua muridnya, Jefri tega membakar ayah Rangga di depan gerbang gelanggang olahraga tempat sang guru bersembunyi. Dia juga tega membacok temannya sendiri di toilet.

Maka, bisa dibilang, Pengepungan di Bukit Duri juga potret perilaku sadis remaja—yang sebenarnya tak asing di dunia nyata.

Mengapa remaja menjadi sadis?

Para peneliti dari Universitas Maastricht dan Universitas Ludwig-Maximilians dalam jurnal Current Psychiatry Reports (2023) menyebut, sadisme merujuk pada kenikmatan yang dapat timbul dari penderitaan fisik atau emosional orang lain.

Sadisme terkait dengan ciri-ciri dark tetrad—istilah yang merujuk pada tiga jenis kepribadian negatif manusia, yakni narsisme, machiavellianisme, dan psikopati. Ciri-ciri psikopat dan narsistik, sebut para peneliti, berhubungan dengan peningkatan sadisme.

Dalam artikel di The Conversation, peneliti dari Trinity College Dublin, Simon McCarthy-Jones mengatakan, sadisme dikaitkan dengan penyiksa dan pembunuh. Namun, ada juga sadisme sehari-hari yang tidak terlalu ekstrem, seperti menikmati film berdarah, menganggap perkelahian mengasyikkan, dan penyiksaan menarik.

“Ilmu saraf menyatakan, sadisme bisa jadi merupakan taktik bertahan hidup yang dipicu oleh masa-masa sulit,” tulis McCarthy-Jones.

“Ketika makanan tertentu menjadi langka, kadar neurotransmitter, serotonin, dalam tubuh kita akan turun. Penurunan ini membuat kita lebih bersedia untuk menyakiti orang lain karena perilaku itu menjadi lebih menyenangkan.”

Menurut McCarthy-Jones, sifat-sifat sadisme, psikopati, narsisme, dan machiavellianisme jika digabung disebut sebagai faktor kepribadian gelap. McCarthy-Jones menyebut, ada komponen keturunan yang sedang hingga besar pada sifat-sifat ini.

“Jadi, beberapa orang mungkin terlahir seperti ini. Atau, orang tua dengan faktor kepribadian gelap tinggi dapat mewariskan sifat-sifat ini kepada anak-anak mereka dengan bersikap kasar kepada mereka. Demikian pula melihat orang lain berprerilaku dengan faktor kepribadian gelap dapat mengajarkan kita bertindak seperti itu.”

Sebuah penelitian yang diterbitkan di International Journal of Environmental Research and Public Health (2024) menemukan, anak laki-laki yang terpapar konten kekerasan di televisi pada usia 3,5 hingga 4,5 tahun lebih cenderung menunjukkan perilaku antisosial saat remaja. Perilaku ini termasuk agresi fisik, pencurian, ancaman, dan keterlibatan dalam perkelahian geng.

Penelitian lainnya yang terbit di jurnal Personality and Individual Differences (2025) menemukan, cara orang tua mendisiplinkan anak-anak mereka berhubungan dengan perkembangan sifat-sifat kepribadian yang tidak diinginkan di kemudian hari. Temuan itu menunjukkan, mengalami pola asuh yang kasar, terutama agresi psikologis dan serangan fisik selama masa kanak-kanak dikaitkan dengan kemungkinan lebih tinggi sifat-sifat dark tetrad di masa dewasa.

Pada konteks Pengepungan di Bukit Duri, remaja-remaja pembangkang, terutama Jefri, memang berasal dari keluarga disfungsional. Verywell Mind menulis, sumber disfungsi dalam keluarga bisa bervariasi, tetapi benang merahnya, anak-anak yang tumbuh dalam keluarga ini sering menderita. Mereka kehilangan orang tua yang memenuhi kebutuhan emosional, memberikan stabilitas, dan mengakui masalah yang ada, sehingga sulit bagi mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang percaya diri dengan harga diri tinggi dan keterampilan kognitif serta perilaku yang sehat.

“Keluarga disfungsional adalah lahan subur bagi pengabaian, pelecehan, rahasia, kecanduan, atau penyangkalan. Dalam sistem keluarga ini, kebutuhan emosional anak-anak tidak terpenuhi karena kebutuhan orang tua lebih diutamakan,” tulis Verywell Mind.

Psikoterapis Kaytee Gillis dalam Psychology Today mengatakan, semua keluarga, seperti sistem sosial, akan mengalami beberapa tingkat disfungsi. Namun, apakah disfungsi tersebut meluas ke tingkat traumatis atau kasar tergantung pada banyak faktor yang berbeda, terutama pada tingkat perilaku, jumlah, kesadaran, dan akuntabilitas dari mereka yang berkuasa.

Gillis membedakan disfungsi normal dan traumatis. Disfungsi normal mengacu pada konflik sehari-hari, yang muncul dalam setiap dinamika sosial, seperti miskomunikasi, ketidaksepakatan, atau perbedaan kepribadian interpersonal.

Disfungsi traumatis melibatkan pola perilaku yang berbahaya dan meluas, seperti pelecehan emosional atau fisik, pengabaian, atau manipulasi ekstrem yang terjadi dalam jangka waktu lama. Jenis disfungsi ini menciptakan lingkungan yang penuh ketakutan, ketidakstabilan, dan rasa sakit emosional yang berkelanjutan, yang menyebabkan luka psikologis yang signifikan dan trauma yang berlangsung lama.

Di penghujung cerita, dalam pertarungan brutal dengan Edwin, Jefri akhirnya tewas. Film diakhiri dengan ironi. Saat sekolah dikepung massa yang membuat onar, Edwin membuka ponsel milik Kristo dan menemukan siapa sebenarnya sang keponakan yang dicari selama ini.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan