Membaca tren NPI

Bila mampu membenahi problem ekspor dari akarnya, ditambah dengan pengendalian impor, maka kemungkinan besar defisit terhindari.

Pada tahun lalu, pada Mei neraca perdagangan Indonesia (NPI) masih menyambung defisit dari April. Di 2019 ini, pada Mei kita berhasil mematahkan peristiwa itu. Defisit yang terjadi pada April 2019 tak berlanjut di Mei. Sepatutnya kita bersyukur atas hal ini. Walau sebenarnya surplus neraca perdagangan Mei 2019 tidaklah terlalu menggembirakan. Mengapa demikian? Lewat membaca tren, ada beberapa poin yang dapat menjadi catatan bagi kita.

Pertama, nilai surplus yang diraih pada Mei 2019 sangat kecil, yakni hanya US$0,21 miliar. Nilai ini bahkan lebih kecil dari nilai surplus yang dicatatkan Februari dan Maret, masing-masing sebesar US$0,33 miliar dan US$0,67 miliar.

Apa maknanya? Tak lain, selisih yang diciptakan ekspor dan impor kita semakin tipis. Meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus ini terjadi karena kinerja ekspor yang meningkat dan menurunnya impor. Ekspor mencapai US$14,74 miliar atau naik 12,42% dibanding bulan sebelumnya. Sementara impor turun 5,62% menjadi US$14,53 miliar.

Kedua, nilai defisit yang diderita pada April 2019 begitu dalam. Bahkan nilai US$2,5 miliar yang terjadi pada bulan itu, dicatat sebagai defisit terparah sejak Juli 2013 (US$2,3 miliar). Penyebabnya, seperti biasa, yakni neraca migas yang tekor US$1,49 miliar. Ditambah pula tekor dari neraca nonmigas sebesar US$1,01 miliar. Dari situlah angka US$2,5 miliar tercipta. Persoalannya ialah, surplus neraca perdagangan yang diraih pada Mei 2019 jelas tak menutup defisit ini, bahkan sekalipun ditambahkan dari surplus Februari dan Maret 2019.

Tahap kritis
Ketiga, kita mesti mewaspadai defisit pada Juli 2019. Memang secara tren, hampir dapat dipastikan Juni 2019 neraca perdagangan kita bakal meraih surplus. Sayangnya di balik berita baik itu, terselip berita buruk, yakni hampir pasti pula di Juli kita mendera defisit.