Mengapa China begitu keras kepala di Natuna?

Isu perbatasan merupakan isu paling kompleks dalam sejarah hubungan antarnegara.

Mohamad Rosyidin

Insiden masuknya kapal-kapal nelayan China yang dikawal penjaga pantai China ke kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) perairan Natuna mengingatkan kita pada insiden Juni 2016 saat KRI Imam Bonjol-383 menembak kapal-kapal China yang terpergok mencuri ikan di kawasan itu.

Presiden Jokowi saat itu bahkan melakukan rapat terbatas di atas KRI Imam Bonjol-383 sebagai respons atas sikap China yang dianggap melanggar kedaulatan Indonesia. Rapat terbatas itu dapat ditafsirkan sebagai ‘diplomasi kapal meriam’ (gunboat diplomacy) Indonesia yang tidak kompromi dalam hal kedaulatan.

Isu perbatasan merupakan isu paling kompleks dalam sejarah hubungan antarnegara. Terlebih lagi, perairan Natuna berbatasan secara langsung dengan Laut Cina Selatan dimana klaim tumpang-tindih mengenai status Kepulauan Spratly dan Paracel sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun antara China dan beberapa negara ASEAN. Indonesia bukan negara pengklaim (claimant state), namun jelas berkepentingan dengan Natuna.

Masuknya kapal-kapal China di perairan Natuna lebih dari sekedar ketidaksengajaan. Ada agenda besar di baliknya yang tak dapat dipisahkan dari strategi geopolitik China di Laut Cina Selatan. 
Masalah konflik perbatasan di Laut Cina Selatan teramat kompleks karena tidak hanya melibatkan benturan kepentingan antarnegara melainkan juga perbedaan cara pandang terhadap konflik itu.

Pelbagai upaya sebenarnya sudah dilakukan, baik secara bilateral maupun multilateral khususnya melalui ASEAN dengan disepakatinya kode tata berperilaku (Code of Conduct) di Laut Cina Selatan. China juga sebenarnya bersedia mengikuti aturan main yang dibuat ASEAN. Namun kenyataannya, China bersikap hipokrit dengan terlalu seringnya bertindak agresif di kawasan sengketa itu.