Menghapus pegawai (guru) honorer

Memang jika dilihat dari peraturan perundang-undangan yang ada, sebenarnya pegawai honorer saat ini sudah tidak diatur.

Kurniawan Adi Santoso

Pemerintah berencana menghapus pegawai honorer di lingkungan kerja pemerintah. Termasuk guru honorer. Wacana ini menjadi perdebatan, karena banyak pegawai honorer terutama di daerah. Respons ditunjukkan dengan dukungan maupun penolakan. 

Salah satu alasan penghapusan tenaga honorer, sepertiga jumlahnya tidak sesuai dengan kebutuhan. Komposisi honorer 60% bersifat administratif. Pemerintah mengangkat 860.220 honorer kategori 1 (K1) dan 209.872 kategori 2 (K2) pada kurun waktu 2005-2014. Total tenaga honorer yang diangkat sebanyak 1.070.092 orang. Jika 60% di antaranya bersifat administratif angkanya ada pada 642.055 orang. 

Untuk menghapus honorer, Pemerintah menawarkan tiga skema. Pertama, bagi honorer yang masih berusia di bawah 35 tahun bisa mengikuti ujian seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Kedua, bagi yang sudah melewati usia 35 tahun bisa ikut ujian pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Ketiga, bagi honorer yang tidak lolos untuk seleksi CPNS atau PPPK, mereka diberi kesempatan bekerja dengan syarat sepanjang mereka masih dibutuhkan oleh pemerintah daerah, dengan gaji sesuai dengan upah minimum regional (UMR) daerah.

Bagaimana dengan guru honorer?

Apakah tiga skema penghapusan honorer serta merta menjamin terpenuhinya kebutuhan kekurangan guru yang selama ini menjadi persoalan krusial? Akhir 2019, kekurangan guru di Indonesia tercatat 1,1 juta orang. Kekurangan terbanyak terjadi di jenjang SD. Untuk jenjang SMP dan SMA/SMK relatif lebih sedikit. Sementara ini, guru honorer merupakan solusi pemenuhan kekurangan guru tersebut.