Mudik atau pulang kampung: Setali tiga uang

Adalah sia-sia berupaya membedakan kedua bentuk ekspresi itu, keduanya terkodifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia telah bersinonim.

Mahsun

Mudik, demikianlah salah satu kata dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, yang dimuat untuk pertama kalinya dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karya Poerwadarminta (Edisi Kedua, cetakan pertama,1976) dan setelah itu, kata tersebut dimuat sebagai salah satu lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mulai edisi pertama (1988) sampai edisi selanjut, misalnya pada edisi  keempat (2008: 933). Dengan demikian, setakat ini, kata mudik merupakan salah satu unsur leksikal yang memperkaya daya ungkap bahasa Indonesia.

Dari sudut pandang linguistik (ilmu bahasa) khususnya bidang semantik, sejauh ini, tidak ada masalah dengan pemaknaan kata mudik, karena masyarakat Indonesia sudah sangat familier dengannya. Setiap tahun masyarakat Indonesia disuguhkan penggunaan kata itu, untuk menandai adanya pergerakan manusia (secara besar-besaran) dari perkotaan ke perdesaan. Sebegitu besarnya pergerakan manusia dari kota ke desa atau kampung tersebut telah mengharuskan negara hadir untuk menjamin berlangsungnya pristiwa itu secara damai, aman, dan lancar. 

Namun, kata mudik ternyata tidak hanya memiliki daya pemaksa secara semantik agar penuturnya membincangkan dirinya dalam hubungannya dengan masalah keagamaan, khususnya Idulfitri. Pasalnya sejak dua hari ini, kata itu menjadi pusat perbincangan justru bukan dalam konteks keagamaan, melainkan dalam konteks memutus mata rantai penyebaran wabah virus yang menggemparkan dunia, yaitu Covid 19. 

Mengapa hal itu dapat terjadi? Pasalnya, orang nomor satu di Republik Indonesia ini, Presiden Joko Widodo, mengintroduksi pemaknaan baru kata mudik yang cenderung berbeda maknanya dengan makna kata itu di dalam kamus. Untuk memperjelas ada baiknya, dikutip penggalan wawancara yang dilakukan Najwa Sihab dalam sesi acara Mata Najwa di Trans7, pada Rabu, 23 April 2020, pukul 20.00 WIB-21.30 WIB, berikut.

(Najwa Sihab): "...Kemudian ini nyambung dengan mudik Pak, kontroversi mudik, yang sempat diawal-awal komunikasi publiknya sempat simpang siur...kenapa tidak dilarang sekarang Bapak, kenapa harus menunggu melihat situasi, sementara...(disela Bapak Presiden) "... ya kita kan kemarin, kita memakai ada transisinya. sehingga jangan sampai menimbulkan sok, justru memunculkan masalah baru...'