Obat depresiasi rupiah

Depresiasi Rupiah tahun ini cukup besar jika dibandingkan dengan beberapa tahun terakhir

Sejak awal tahun hingga pertengahan Oktober 2018, nilai tukar Rupiah telah mengalami depresiasi sebesar 12% ytd (year to date) terhadap Dollar Amerika Serikat (US$). Di kawasan ASEAN, hanya Myanmar (sebesar 14,37% ytd) yang mata uangnya terdepresiasi lebih besar dari depresiasi yang dialami Rupiah.

Ini menggambarkan rentanitas Rupiah dibanding mata uang kawasan atau negara-negara tetangga. Depresiasi Rupiah tahun ini cukup besar jika dibandingkan dengan beberapa tahun terakhir, sehingga diperlukan langkah-langkah strategis dan signifikan dalam menghentikan pelemahan nilai tukar. 

Pemicu depresiasi bersumber baik dari dalam negeri maupun faktor global. Belum mampunya Indonesia keluar dari kubangan defisit neraca transaksi berjalan yang dialami sejak 2012, membuat serangkaian capaian kinerja makro ekonomi seolah-olah minim arti guna mengurangi tekanan depresiasi. Neraca transaksi berjalan ibarat ‘cermin’ yang merefleksikan dinamika kebutuhan dan kemampuan suatu negara menghasilkan valuta asing terutama Dollar.

Ketika transaksi berjalan nilainya defisit maka dengan mudah nilai tukar akan mengalami pelemahan, karena kebutuhan valas di pasar lebih besar dibanding ketersediaan. Posisi defisit transaksi berjalan pada triwulan II-2018 sebesar -US$8 miliar (3% terhadap PDB), meningkat dibanding triwulan I sebesar -US$5,7 miliar (2,2% terhadap PDB). Tanpa kebijakan yang ‘mujarab’ potensi pelebaran defisit ini masih sangat mungkin terjadi. 

Di sisi global, nilai tukar Rupiah tertekan oleh agresivitas bank sentral Amerika Serikat (AS) dalam menormalisasi suku bunga acuannya (Fed Fund Rate). Di luar itu, memanasnya perang dagang antara AS dengan beberapa negara maju terutama China membuat ketidakpastian global kian runyam.