Pemahaman resolusi konflik isu Papua untuk aparat keamanan

Insiden di asrama mahasiswa Papua di Surabaya tersebut, bak hujan di tengah musim kemarau bagi para aktivis separatisme.

Saya menggeleng-gelengkan kepala saat membaca berita insiden di asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Terheran-heran dengan sikap dan aksi aparat keamanan dalam menangani permasalahan tersebut. Bertanya-tanya, apakah aparat keamanan kita tidak memahami konteks insiden yang sedang terjadi dan menangani hal tersebut sama dengan isu-isu lain yang biasa mereka hadapi?

Jika dapat dianalogikan, menurut saya, insiden di asrama mahasiswa Papua di Surabaya tersebut, bak hujan di tengah musim kemarau bagi para aktivis separatisme Papua Barat yang tergabung dalam United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Sebuah organisasi yang digagas Benny Wenda, Ketua ULMWP yang mendapatkan suaka di Inggris. 

Isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi amunisi utama bagi organisasi ini untuk menggeret perhatian internasional terhadap Papua Barat dan meraih kemerdekaan dengan isu tersebut. Insiden di asrama mahasiswa Papua di Surabaya kemarin, tampaknya berpotensi menjadi amunisi baru yang prospektif untuk “digoreng” di forum-forum internasional.

Organisasi ini juga memiliki dua orang perwakilan di Amerika Serikat yang sedang berupaya mendesak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk membahas isu HAM di Papua Barat di Sidang Umum PBB. Pada April 2019, delegasi ULMWP di AS kembali mengajukan isu HAM di Papua Barat untuk dibahas di Sidang Umum PBB, namun tidak diindahkan pimpinan sidang saat itu.

Saat ini, mereka sedang mempersiapkan diri untuk kembali mengangkat isu ini di Sidang Umum PBB ke 74 yang dilaksanakan September 2019. Insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya tampaknya berpotensi menjadi amunisi baru dan cukup kuat untuk ditampilkan. Mengingat sejumlah media besar internasional dan AS sedang ramai membahas insiden di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, termasuk media besar sekelas the New York Times, The Washington Post, dan VOA.