Seharusnya tuntutan buruh beranjak lebih pada jaminan sosial yaitu upaya untuk menjamin hak atas pekerja terpenuhi secara proporsional.
Terulang setiap 1 Mei, buruh dari lintas korporasi di Indonesia melakukan refleksi atas ketenagakerjaan mereka, dengan berbagai cara, salah satunya turun ke muka umum dengan menyampaikan aspirasi atau tuntutan. Hanya saja, aktivitas ini tidak pernah benar-benar berhasil karena pada tahun berikutnya tuntutan yang sama akan diulang.
Ada yang terlupakan dalam momentum tahunan ini, membawa gerakan buruh ke ranah politik yang lebih jelas alur aspirasinya. Tetapi, jika salah menghitung maka gerakan akan terjerumus dalam ruang politis. Tentu, politik dan politis memiliki perbedaan. Politik adalah kebijakan, sementara politis adalah kepentingan.
Besarnya asosiasi buruh –dengan berbagai bendera—tentu memiliki potensi dijadikan target politis para elit, terlebih dalam momentum menjelang Pemilu. Sayangnya, peringatan buruh bertanggal seusai Pemilu. Sehingga bargaining power buruh sedikit terdistorsi. Meskipun demikian, buruh tetap saja memiliki peluang untuk menuntut hak yang lebih baik, dan tentu lebih diterima oleh lebih banyak buruh lainnya.
Sejauh ini, mencermati tuntutan buruh selalu didominasi soal upah. Sehingga buruh memaklumi diri sendiri bahwa tenaga mereka, harus dikonversi dalam bentuk upah (materialisme). Padahal, seharusnya tuntutan mereka beranjak lebih pada jaminan sosial (utilitarianisme), yaitu upaya untuk menjamin hak atas pekerja terpenuhi secara proporsional sesuai kewajiban.
Kesetaraan