RUU Permusikan dan darurat kebebasan berekspresi

Ancaman terhadap kebebasan berekspresi juga dapat ditelusuri dari beberapa aturan perundang-undangan dan hukum pidana

Munculnya draft Rancangan Undang-Undang Permusikan (RUU Permusikan) menambah daftar panjang ancaman bagi kebebasan berekspresi di Indonesia.

Rancangan tersebut kini telah memancing para musisi untuk membentuk suatu wadah, Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikkan.

Menurut para musisi dalam koalisi tersebut, draft RUU Permusikan mengandung unsur yang mengancam kreatifitas serta iklim kebebasan berekspresi melalui musik. Setidaknya dalam pernyataan sikap yang dikeluarkan, mereka menyebutkan 19 pasal yang menjadi pangkal permasalahan. 

Sebelumnya di awal Januari, masyarakat dipertontonkan tindakan pelanggaran hukum dari lembaga kejaksaan dan tentara yang “mengamankan” (merazia—Red) buku-buku yang dianggap berbau ideologi terlarang. Tindakan itu—yang dilakukan oleh lembaga penegakkan hukum dan pelindung tanah air Indonesia—melanggar putusan Mahkamah Konstitusi yang pada 2010 mencabut aturan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. 

Dua kejadian ini yang menyerang produk hasil pikiran, seni dan kebudayaan memunculkan gambaran masa lalu pada situasi rezim birokratik-otoriter Stalin, atau Tiongkok di masa Revolusi Kebudayaan Mao Zedong, atau bahkan masa kekerasan budaya Orde Baru Soeharto.