Kasus-kasus dugaan serangan terhadap kebebasan berekspresi terus berulang dalam beberapa bulan terakhir. Terbaru, kolomnis berinisial YF diintimidasi orang tak dikenal usai opininya yang bertajuk "Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?" tayang di laman Detik.com, Kamis (22/5) lalu.
Sehari setelah artikel opini itu tayang, YF diserempet sepeda motor yang ditunggangi dua orang tak dikenal saat sedang mengantar anaknya ke sekolah pada pagi hari. Ia juga didorong hingga terjatuh. Siangnya, kejadian serupa berulang dengan pelaku dan sepeda motor yang berbeda.
Demi keselamatan penulis, Detik.com sudah menghapus artikel YF di rubrik opini. YF sudah melaporkan peristiwa intimidasi itu kepada Dewan Pers. Dewan Pers belum memberikan rekomendasi khusus terkait peristiwa itu.
Dugaan pemberangusan terhadap kebebasan berpendapat juga muncul dalam penangkapan 93 mahasiswa Universitas Trisakti dalam unjuk rasa memperingati 27 tahun era Reformasi di Balai Kota, Selasa (20/5) lalu.
Polisi berdalih puluhan mahasiswa itu ditangkap karena ricuh. Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Trisakti menyebut polisi bertindak represif dengan menghalangi kelompok mahasiswa saat mau memasuki Balai Kota.
Hingga kini, masih ada 16 mahasiswa Universitas Trisakti yang ditahan di Polda Metro Jaya dan ditetapkan sebagai tersangka. Amnesti Internasional Indonesia meminta Polda Metro Jaya segera membebaskan para mahasiswa yang ditahan.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat mengatakan kasus-kasus dugaan serangan terhadap kebebasan berekspresi sudah marak sejak pengunjung 2024. Ia mencontohkan larangan pementasan sejumlah karya seni dan kekerasan oleh aparat terhadap mahasiswa dalam gelombang aksi protes menolak revisi UU TNI.
"Ini mengkhawatirkan. Kenapa mengkhawatirkan? Karena kebebasan berekspresi adalah elemen dasar dalam komponen hak asasi manusia," kata Rakhmat kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Rakhmat menilai penangkapan puluhan mahasiswa Universitas Trisakti dan dugaan intimidasi terhadap YF yang terjadi secara beruntun menandakan pelemahan terhadap kekuatan masyarakat sipil. Kelompok-kelompok masyarakat sipil harus merespons dengan konsolidasi.
Supremasi sipil, lanjut Rakhmat, akan terus tergerus jika tidak ada upaya untuk melawan tindakan-tindakan intimidasi. Tidak hanya kalangan akademisi, aktivis, mahasiswa, seniman dan budayawan, warga biasa juga harus menyuarakan protes terhadap upaya-upaya memberangus kebebasan berpendapat.
"Karena konteks politik sekarang itu mendukung bagaimana kebebasan ekspresi itu dibungkam dan dipasung. Jadi, adanya krisis kebebasan berekspresi itu sebenarnya tidak lepas dari konteks politik yang terjadi saat ini yang sering kali melegitimasi aparat tersebut. Sebenarnya kita bisa membaca ini sebagai ada persekongkolan antara rezim dengan aparat untuk membungkam kebebasan berekspresi mereka," kata Rakhmat.
Jika dibiarkan dinormalisasi, Rakhmat berpendapat akan muncul masalah sosial politik yang jauh lebih besar. Pemerintah, misalnya, bisa seenaknya mengeluarkan kebijakan dan aturan tanpa mempertimbangkan suara dari masyarakat sipil.
"Ini sangat mungkin terjadi di masa depan karena ruang politiknya memungkinkan itu. Aparat memiliki ruang untuk bisa melakukan berbagai macam intervensi dan bersikap represif untuk mengancam kebebasan masyarakat sipil," kata Rakhmat.
Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi menilai kasus dugaan teror dan intimidasi yang dialami YF bukan peristiwa tunggal. Itu merupakan bagian dari pola kekerasan berulang yang muncul sejak gelombang penolakan terhadap revisi UU TNI bergulir.
Dalam dua bulan terakhir, Setara Institute mencatat sejumlah insiden teror berupa, pengintaian, intimidasi serta serangan fisik dan digital yang tujuannya mengekang kebebasan berpendapat terkait revisi UU TNI. Korbannya mulai dari akademisi, aktivis, jurnalis, mahasiswa, hingga warga sipil.
"Koalisi memandang, tindakan pembiaran terhadap pola kekerasan seperti ini—tanpa penyelidikan menyeluruh, akuntabilitas, dan pemulihan korban—adalah bentuk pengabaian tanggung jawab konstitusional oleh pemerintah dan aparat penegak hukum," kata Hendardi melalui keterangan pers yang diterima Alinea.id, Sabtu (24/5).
Hendardi menilai tindakan-tindakan teror yang menimpa masyarakat sipil dalam beberapa bulan terakhir berkaitan erat dengan agenda besar penguasa yang ingin menghidupkan dwifungsi militer. Agenda itu tercium dari revisi UU TNI, Perpres 66/2025 tentang pelibatan militer di kejaksaan, dan penempatan perwira aktif di jabatan sipil.
"Kritik terhadap kebijakan tersebut bukanlah ancaman, melainkan alarm demokrasi yang wajib didengar dan ditanggapi secara substantif, bukan dibungkam melalui kekerasan," kata Hendardi.