Sila Pancasila dalam kisah sebuah keluarga

Angan itu sudah lama muncul. Bagaimana jika Pancasila ditafsirkan secara kreatif melalui film?

Arie Saptaji / Dok. pribadi

*Penulis, penerjemah, editor, dan tukang nonton.

Pemantik angan itu tak lain dua paket karya gemilang Krzyztof Kieślowski, sutradara Polandia, "Dekalog" (1988-1989) dan trilogi "Three Colors" (1993-1994). "Dekalog" adalah sepuluh drama seri televisi, masing-masing berdurasi satu jam, yang diinspirasi oleh Sepuluh Perintah Allah dalam Kitab Keluaran. Adapun "Three Colours" adalah tiga film berdasarkan tiga warna bendera Republik Prancis (biru, putih, merah) yang melambangkan semboyan negara itu: kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan.

Kedua paket film itu sama-sama merupakan penafsiran yang longgar atas sumbernya. "Dekalog" tidak menyodorkan khotbah moralis hitam-putih; "Three Colours" juga tidak berisi ceramah tentang bagaimana menjadi warga negara yang baik. Sebaliknya, keduanya menawarkan cerita memikat tentang tokoh-tokoh yang mesti bergelut dengan tantangan etis yang nyata, pelik, dan ironis.

Dalam film kedua "Dekalog", misalnya, seorang perempuan mendatangi dokter, bertanya apakah suaminya yang sedang sakit akan mati atau bertahan hidup. Jika suaminya sembuh, ia akan melakukan aborsi. Jika suaminya mati, ia akan mempertahankan kehamilannya. Perempuan ini mengandung benih laki-laki lain.

Ada pula model yang lebih rileks. Film komedi India "Lage Raho Munna Bhai" (Rajkumar Hirani, 2006) menampilkan Munna Bhai yang dapat melihat roh Mahatma Gandhi. Melalui interaksinya dengan Gandhi ini, ia mulai menerapkan ajaran Gandhi untuk menolong orang-orang di sekitarnya memecahkan masalah mereka.