Terorisme dan moderasi keberagamaan 

Penegakan hukum bercorak militeristik yang cenderung mengeksploitasi kekerasan ini telah menjadi semacam standar prosedur operasional.

Nurrochman

Pascabom bunuh diri di Polrestabes Medan, aparat keamanan gencar memburu jaringan teroris. Sedikitnya 18 orang ditangkap.

Satu terduga perakit bom ditembak mati, dan ada dua terduga lainnya ditembak kakinya. Adalah hal yang lazim ketika peristiwa teror terjadi, aparat begitu sigap menangkap pelaku berikut jaringannya. Penegakan hukum bercorak militeristik yang cenderung mengeksploitasi kekerasan ini telah menjadi semacam standar prosedur operasional. Hal ini tentu tidak sepenuhnya salah mengingat terorisme adalah kejahatan kemanusiaan yang wajib diberantas. 

Namun, penegakan hukum melalui cara-cara kekerasan harus diakui tidak mampu menyelesaikan akar persoalan terorisme. Penegakan hukum dengan kekerasan hanya menyelesaikan persoalan terorisme di level permukaan dan dalam jangka pendek. Asumsi ini didasari fakta bahwa meski aparat keamanan gencar memburu pelaku teror, jaringan terorisme tetap tumbuh subur. Bahkan, tidak sedikit mantan narapidana terorisme kembali bergabung dengan jaringan teroris. 

Pada titik tertentu, harus diakui bahwa penegakan hukum dengan jalan kekerasan justru potensial menyuburkan jaringan terorisme. Aksi teror yang direspons dengan kekerasan aparat keamanan akan melahirkan dendam. Kondisi inilah yang melahirkan spiral kekerasan yang sukar diputus. 

Terorisme adalah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang memiliki karakter, motif dan latar belakang yang berbeda dengan kejahatan biasa pada umumnya. Louise Richardson dalam bukunya The Roots of Terrorism menyebut bahwa terorisme berakar dari persoalan politik, sosial dan agama.