Adakah tempat untuk jurnalisme di media sosial?

Menurut Imam Safingi, media sosial bisa bermanfaat, menarik, dapat menginspirasi, tetapi juga bisa berbahaya.

Ilustrasi media dan berita. Foto Pixabay

Masyarakat semakin menggunakan media sosial sebagai sumber utama berita. Itu juga merupakan panggung untuk opini pribadi dan informasi yang belum diverifikasi. Hal tersebut menjadi tantangan bagi para pengguna medsos untuk mengetahui kebenaran berita yang disebarluaskan.

Topik itu sangat menarik didiskusikan dalam konferensi dua hari diselenggarakan Goethe Institute Indonesia, Kedutaan Besar Jerman Jakarta, Deutsche Welle, dan Project Multatuli pada penghujung tahun 2021. Konferensi menghadirkan pakar-pakar dari Asia Tenggara dan Eropa, yang membahas transformasi jurnalisme dan konsumsi berita di era digital.

"Jadi bagaimana jurnalisme akan berkembang dalam menghadapi media sosial dan bagaimana organisasi berita bisa membangun kepercayaan di tengah informasi yang berlebihan?" tanya Prita Kusumaputri, koresponden Deutsche Welle, yang menjadi moderator sesi 'Apakah Ada Tempat Jurnalisme di Media Sosial?'

Menurut Imam Safingi, media sosial bisa bermanfaat, menarik, dapat menginspirasi, tetapi juga bisa berbahaya. Itu mungkin menakutkan. Alasan di balik situasi yang berlawanan tersebut sebenarnya adalah hal yang sama bahwa setiap orang dapat berbagi segalanya. Dan dengan semua orang dapat berbagi segalanya, kita tidak dapat menghindari banjir informasi. Informasi ada di mana-mana, di mana saja, diharapkan atau tidak akurat, tidak diverifikasi.

Kanal Perupadata dimulai pada April 2020. Pada dasarnya ide memulai kanal itu adalah untuk mengumpulkan informasi, fakta, bisa berita, rilis, dan pernyataan publik. Perupadata mengkompilasinya, menganalisisnya, mendesainnya dengan layak dan kemudian membagikannya. Penggagasnya, Imam Safingi, terlibat dalam produksi video belajar mandiri dan desain grafis.