Komunikasi kebijakan sekadar formalitas untuk sosialisasi

Komunikasi itu bukan di ujung saja. Komunikasi bahkan dilakukan pada tahap awal kebijakan hendak dirumuskan.

ilustrasi. foto Pixabay

Sering kali komunikasi bukan bagian penting dari desain yang ditentukan oleh pejabat pemerintah. Ini tampak menjadi keluhan yang terus berulang dari Presiden Joko Widodo. Berkali-kali Jokowi menyampaikan kritik secara terbatas di kalangan menteri-menterinya atas kekurangcakapan pejabat pemerintah dalam mengkomunikasikan kebijakan yang masing-masing diambil oleh pemerintahan.

Uraian itu diungkapkan Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia. Dalam kuliah umum virtual Lembaga Administrasi Negara (LAN) bekerja sama Tanoto Foundation, Kamis (9/9), dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta memaparkan wawasan komunikasinya kepada 1.593 peserta yang mendaftar baik melalui Zoom maupun secara live di kanal YouTube LAN.

Lima masalah menjadi lingkaran setan komunikasi kebijakan selama ini telah ditemukan Muhtadi dari sebuah sumber di Kementerian Komunikasi dan Informasi. Pertama, publik terfragmentasi. Menurut dia, seyogyanya penting dipahami oleh pembuat kebijakan bahwa rakyat itu tidak tunggal, bukan monolitik, melainkan heterogen.

"Fragmentasi publik itu seharusnya disadari oleh pembuat kebijakan ketika mereka merumuskan kebijakan. Jadi komunikasi bukan semata-mata dilakukan setelah kebijakan dibuat, tetapi sebelum dibuat, bahkan pada saat pengusulan dan perencanaan, komunikasi rencana rumusan kebijakan tadi sudah harus dibagikan kepada publik untuk mengantisipasi respons antagonis dari publik kalau-kalau misalnya ada fait accompli (ketentuan yang harus diterima) di ujung (nanti)," ucapnya.

Ditambahkan, menyadari betapa publik yang terfragmentasi ada banyak kepentingan, namanya juga demokrasi di mana rakyat itu banyak, karenanya kepentingan yang beragam harus juga diserap dalam proses perumusan dan pembuatan kebijakan dari awal. Proses deliberatif semacam ini akan mengurangi ekses ketika kebijakan dibuat karena mereka (rakyat) sudah didengar suaranya, diperhatikan masukannya, dihiraukan kritiknya, ketika kebijakan dirumuskan. Jadi komunikasi itu bukan di ujung saja. Komunikasi bahkan dilakukan pada tahap awal kebijakan hendak dirumuskan.