5.000 Babinsa ditolak jadi fasilitator rehabilitasi bencana

Proses pascabencana di Sulteng dinilai lebih baik hanya melibatkan warga dan aparat sipil.

Ruang kuliah yang rusak di Fakultas Hukum Universitas Tadulako, akibat gempa pada 28 September 2018 di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (24/1)./ Antara Foto

5.000 Babinsa (Bintara Pembina Desa) mendapat penolakan untuk terlibat dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah. Mereka dilibatkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), untuk menjadi fasilitator rehabilitasi dan rekonstruksi.

Sekjen Pasigala Centre, Andika, menilai pelibatan unsur militer dalam langkah-langkah pascabencana, menunjukkan adanya persoalan pada BNBP. 

"Penggunaan aparat militer sebagai fasilitator dalam tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi itu menunjukan bahwa perspektif BNPB dalam menangani bencana masih dalam paradigma tanggap darurat," kata Andika di Palu, Selasa (6/2).

Dia menjelaskan, masalah penting yang harus ditangani pascabencana bersifat sosial dan antropologis. Karena itu, Andika menilai pelibatan militer justru akan menimbulkan persoalan.

"Penggunaan Babinsa sebagai fasilitator bencana itu justru menunjukan kesan bahwa negara hendak memaksakan semua maksud dan rencananya agar masyarakat korban mau mengikuti rencana yang telah dibuat tanpa partisipasi korban itu," kata Andika.