Adaptasi kebiasaan baru terganjal pola pikir masyarakat

Masyarakat terjebak pada perasaan tak akan tertular Covid-19.

Tim pakar sosial budaya Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Meutia Hatta Meutia Hatta saat memaparkan Strategi Membuat Kebiasaan Baru Menjadi Kebudayaan Baru, Selasa (4/ 8)/Foto tangkapan layar Channel YouTube BNPB.

Proses adaptasi kebiasaan baru merujuk pada protokol kesehatan Covid-19 dinilai bakal terganjal pola pikir dan perilaku masyarakat Indonesia. Pasalnya, mereka telanjur terjebak perasaan tidak akan tertular Covid-19.

“Orang Indonesia tidak mudah takut dengan risiko tantangan kesehatan. Berpikir ‘itu buat orang lain, buat saya enggak’. Apalagi, kalau beriman pasti dilindungi Tuhan Yang Maha Esa,” ujar tim pakar sosial-budaya Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Meutia Hatta, dalam keterangan pers di Graha BNPB, Jakarta, Selasa (4/8).

Pola pikir demikian, jelas Meutia, juga mengabaikan prinsip saling tolong-menolong antarmanusia. Padahal, sambung dia, jika mengedepankan prinsip menolong orang lain agar tidak tertular Covid-19, maka bukan hanya menolong diri sendiri, tetapi juga merka yang beriman kepada Tuhan.

Menurut Meutia, fenomena berkerumun terjadi karena nilai budaya dianggap lebih penting daripada menghindar dari penularan Covid-19. Misalnya, nilai budaya terkait kebiasaan mempertahankan hubungan keluarga. Lalu, dikukuhkan pula dengan cara-cara untuk memperkuat hubungan keluarga agar bisa turun-temurun.

Dia menambahkan, adaptasi kebiasaan baru membutuhkan waktu lama agar bisa menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat. Adaptasi kebiasaan baru juga dipengaruhi pertimbangan tertentu. Misalnya, menilik sisi kebaikan, keuntungan, atau manfaatnya.