Peserta didik adukan beban belajar dari rumah, Pengamat: Ada kesalahan persepsi

Pelaksanaan pembelajaran jarak jauh seringkali diartikan sekolah dengan pemberlakuan jam belajar selayaknya jam sekolah normal.

Guru SD berkomunikasi dengan siswa saat proses belajar mengajar (PBM) melalui aplikasi media daring dirumahnya di Kelurahan Bubulak, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/4).Foto Antara/Arif Firmansyah/foc.

Sejumlah kepala daerah telah menginstruksikan kepada warganya agar bekerja dari rumah alias work from home (WFH). Bahkan aktivitas belajar dan mengajar untuk sementara tidak lagi dilakukan di sekolah, melainkan di rumah. Semua itu dilakukan dalam upaya meminimalisir penyebaran coronavirus di Indonesia.

Tetapi belakangan, baru diketahui beberapa kendala yang harus segera dibenahi untuk mengefektifkan program belajar dari rumah. Setidaknya itu terlihat dari jumlah pengaduan yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). 

Selama empat minggu pemerintah melaksanakan kebijakan belajar dari rumah, sebanyak 213 pengaduan telah diterima KPAI.  Ratusan pengaduan tersebut terjaring dari Senin, (16/3) hingga Kamis (9/4). Umumnya, pengaduan yang diterima KPAI langsung berasal dari siswa SMP, SMK, dan SMK dari berbagai daerah.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengungkapkan, mayoritas pengaduan menyangkut beratnya berbagai penugasan guru dan persoalan kuota internet. Pengaduan terbanyak berasal dari provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Dari total pengaduan yang masuk, sebesar 70% di antaranya terkait keluhan tugas berat yang harus dituntaskan dalam tempo singkat. Di sisi lain, penugasan tersebut disayangkan karena membosankan. Misalnya, merangkum materi dan menyalin soal di buku tulis, padahal materi dan soal sudah ada dalam buku paket.